MEMANDANG JEJAK ALLAH DALAM SEGALA SESUATU, CIRI MAQAM MAKRIFATULLAH

 


Alam semesta bagi seorang hamba yang arif bukanlah sekadar hamparan benda mati atau panggung peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Baginya, seluruh jagat raya adalah sebuah kitab agung yang terbuka, di mana setiap huruf, kata, dan kalimatnya menceritakan tentang keagungan Sang Penulis. Pandangan seorang arif adalah pandangan yang menembus bentuk luar untuk sampai pada hakikat di baliknya. Ia tidak berhenti pada ciptaan, melainkan menjadikan ciptaan sebagai jembatan untuk menyaksikan Sang Pencipta. Inilah esensi dari makrifatullah, yaitu mengenal Allah melalui jejak jejak Nya yang tersebar di segenap penjuru.

Seorang insan biasa melihat gunung sebagai bongkahan batu yang kokoh, namun seorang arif melihatnya sebagai manifestasi dari sifat Allah Al Qawiyyu (Yang Maha Kuat) dan Al Adzim (Yang Maha Agung). Orang awam mendengar gemericik air sebagai fenomena alam, namun sang arif mendengarnya sebagai zikir dan tasbih kepada Al Hayyu (Yang Maha Hidup). Perbedaan ini tidak terletak pada mata kepala, melainkan pada mata hati (bashirah) yang telah dibersihkan dari debu kelalaian dan cinta dunia.

Ketika hati telah suci, ia menjadi cermin yang bening. Cermin ini mampu memantulkan cahaya ilahi yang terpancar dari setiap atom di alam semesta. Maka, seluruh wujud menjadi tanda, menjadi ayat yang berbicara tanpa suara. Keindahan sekuntum bunga menjadi cermin dari sifat Al Jamil (Yang Maha Indah), keteraturan gerak planet menjadi cermin dari sifat Al Hakim (Yang Maha Bijaksana), dan luasnya samudra menjadi cermin dari sifat Al Wasi (Yang Maha Luas).

Pandangan tauhid seperti ini mengubah seluruh interaksi seorang hamba dengan realitas. Tidak ada lagi yang terasa asing atau terpisah dari Nya. Setiap tatapan menjadi ibadah, setiap pendengaran menjadi perenungan, dan setiap langkah menjadi sebuah perjalanan spiritual menuju sumber dari segala sumber. Dunia tidak lagi menjadi hijab yang menutupinya dari Allah, melainkan menjadi jembatan yang menyambungkannya kepada Nya.

 

Kemampuan untuk menyaksikan jejak ilahi dalam segala sesuatu bukanlah hasil dari kecerdasan intelektual semata. Ia tidak diperoleh dari bangku sekolah atau tumpukan buku, melainkan anugerah yang lahir dari kesucian hati. Para sufi menyebut alat untuk memandang ini sebagai bashirah, atau mata batin. Jika mata kepala (bashar) hanya mampu menangkap bentuk, warna, dan dimensi fisik, maka bashirah mampu menembus selubung itu untuk menyaksikan makna dan hakikat spiritual yang terkandung di dalamnya.

Terbukanya bashirah adalah buah dari perjuangan spiritual yang panjang dan sungguh sungguh (mujahadah). Ia adalah hasil dari proses penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), yaitu membersihkan hati dari berbagai penyakit yang mengeruhkannya, seperti kesombongan, iri hati, kebencian, dan terutama sekali cinta yang berlebihan terhadap dunia. Hati yang dipenuhi oleh penyakit ini ibarat cermin yang kotor dan berkarat, ia tidak akan mampu memantulkan cahaya kebenaran, sejelas apapun cahaya itu bersinar.

Seorang hamba yang ingin mata hatinya terbuka harus terlebih dahulu memalingkan pandangan hatinya dari selain Allah. Ia melatih dirinya untuk tidak terpesona oleh gemerlap dunia dan tidak diperbudak oleh hawa nafsunya. Melalui zikir yang terus menerus dan tafakur yang mendalam, ia memoles cermin hatinya hari demi hari. Sedikit demi sedikit, karat kelalaian akan terkikis, dan noda noda dosa akan terhapus, hingga hatinya kembali kepada fitrahnya yang suci dan bening.

Ketika bashirah telah terbuka, maka pandangan seorang hamba akan berubah total. Ia tidak lagi melihat dunia sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bayang bayang dari Hakikat Yang Sejati. Ia melihat kuasa Allah bekerja di balik setiap sebab akibat. Ia menyaksikan rahmat Nya tersembunyi di dalam setiap ujian. Pandangan inilah yang melahirkan ketenangan abadi, karena ia tahu bahwa di balik segala yang terjadi, ada tangan Sang Kekasih yang senantiasa mengatur dengan penuh kebijaksanaan dan cinta.

 

Apa yang sesungguhnya disaksikan oleh seorang arif di alam semesta? Para sufi menyebutnya sebagai tajalli, atau penampakan sifat sifat dan nama nama (asma wa sifat) Allah pada makhluk Nya. Allah, dalam Dzat Nya, tidak dapat dijangkau oleh akal maupun indera. Namun, Ia memperkenalkan diri Nya melalui manifestasi sifat sifat Nya di alam semesta. Seluruh ciptaan, dari yang terkecil hingga yang terbesar, adalah panggung bagi tajalli ilahi.

Setiap nama Allah (asmaul husna) memiliki penampakan di alam ini. Sifat Ar Rahman (Yang Maha Pengasih) bertajalli pada sinar matahari yang menghangatkan semua makhluk tanpa terkecuali, pada air hujan yang menyuburkan bumi, dan pada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Sifat Al Mushawwir (Yang Maha Membentuk Rupa) bertajalli pada keanekaragaman bentuk dan warna makhluk, dari corak sayap kupu kupu hingga sidik jari manusia yang unik.

Seorang salik (pejalan spiritual) dalam perjalanannya belajar untuk mengenali tajalli ini. Awalnya, ia mungkin hanya melihatnya pada fenomena alam yang dahsyat seperti petir atau badai, yang menunjukkan tajalli jalal (keagungan dan keperkasaan). Namun seiring dengan meningkatnya kejernihan batinnya, ia mulai mampu melihat tajalli jamal (keindahan dan kelembutan) pada hal hal yang paling sederhana sekalipun, seperti senyuman seorang anak kecil atau mekarnya kuncup bunga di pagi hari.

Puncak dari penyaksian ini adalah ketika seorang hamba tidak lagi membedakan antara tajalli jalal dan jamal. Ia melihat keduanya sebagai dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu manifestasi dari kebijaksanaan dan cinta Allah yang sempurna. Dalam musibah ia melihat kelembutan Nya yang tersembunyi, dan dalam nikmat ia melihat keagungan Nya yang tersembunyi. Pada titik ini, hatinya dipenuhi dengan rido dan kepasrahan total, karena ia menyaksikan tangan Sang Kekasih dalam setiap jengkal kehidupannya.

 

Jika zikir adalah aktivitas mengingat Allah secara vertikal, maka tafakur adalah perenungan mendalam terhadap ciptaan Nya secara horizontal untuk kembali kepada kesadaran vertikal. Tafakur adalah ibadah akal dan hati yang seringkali dilupakan. Rosulullah sendiri sering menyendiri untuk bertafakur, merenungkan keagungan penciptaan langit dan bumi. Dikatakan bahwa tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah satu tahun, karena tafakur yang benar akan melahirkan makrifat yang mendalam.

Tafakur bukanlah sekadar melamun atau berkhayal. Ia adalah aktivitas intelektual dan spiritual yang terarah, yaitu memikirkan tentang bagaimana sesuatu diciptakan, apa tujuannya, dan pelajaran apa yang bisa dipetik darinya untuk mengenal Sang Pencipta. Seorang hamba mengambil satu objek ciptaan, misalnya sebutir biji. Ia merenungkan bagaimana dari biji yang kecil dan tampak mati itu, dengan izin Allah, bisa tumbuh pohon yang kokoh dengan akar yang kuat, batang yang menjulang, serta daun, bunga, dan buah yang bermanfaat.

Dari perenungan ini, hatinya akan dipenuhi rasa takjub akan kekuasaan (qudrah), ilmu (ilm), dan kehendak (iradah) Allah. Ia akan menyadari betapa lemah dan terbatasnya dirinya di hadapan kekuatan yang begitu dahsyat. Perenungan ini akan melahirkan rasa syukur atas segala nikmat dan rasa takut (khasyyah) yang didasari oleh pengagungan. Inilah buah dari tafakur yang benar, yaitu bertambahnya iman dan makrifat.

Para sufi menjadikan tafakur sebagai amalan harian mereka. Mereka merenungkan tentang pergantian siang dan malam, tentang detail tubuh manusia, tentang kehidupan lebah, atau tentang luasnya angkasa raya. Setiap objek perenungan menjadi pintu gerbang baru yang mengantarkannya pada samudra pengenalan akan Allah. Bagi mereka, alam semesta adalah madrasah, dan tafakur adalah kurikulumnya, yang membimbing mereka dari ilmu menuju penyaksian.

 

Mengapa banyak manusia memandang alam semesta setiap hari namun tidak kunjung sampai pada penyaksian akan jejak Tuhannya? Penghalang utamanya bukanlah karena jejak itu tersembunyi, melainkan karena pandangan mereka terhalang oleh hijab atau tabir. Dan hijab yang paling tebal, menurut para sufi, adalah hijab diri sendiri, atau hijab an nafs. Ego, keakuan, dan merasa diri sebagai pusat segalanya adalah tabir yang paling pekat yang menutupi seorang hamba dari Tuhannya.

Ketika seorang insan terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dengan keinginan, ambisi, dan citra dirinya, maka seluruh alam semesta hanya menjadi cermin bagi egonya. Ia melihat segala sesuatu dari kacamata untung dan rugi bagi dirinya. Pujian membuatnya senang, cacian membuatnya marah. Keuntungan membuatnya gembira, kerugian membuatnya sedih. Pusat dari dunianya adalah aku, bukan Dia. Selama aku ini masih bertahta di singgasana hati, maka Dia akan tetap tersembunyi.

Perjalanan tasawuf adalah perjalanan untuk menyingkap hijab ini. Proses ini seringkali menyakitkan, karena ia menuntut seorang hamba untuk mematikan egonya sebelum kematian fisik menjemput. Ia harus belajar untuk melepaskan keterikatannya pada pendapatannya sendiri, pada penilaian orang lain, dan pada ilusi bahwa ia memiliki kekuatan atau kendali atas apapun. Ia harus sampai pada kesadaran penuh bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah (laa hawla wa laa quwwata illa billah).

Hanya ketika hijab ego ini mulai menipis, cahaya ilahi baru bisa merembes masuk ke dalam hati. Seorang hamba mulai melihat bahwa bukan dirinya yang berbuat, melainkan Allah yang menggerakkannya. Bukan dirinya yang memiliki, melainkan Allah yang menitipkannya. Pada titik inilah, ia mulai bisa melihat jejak Allah dalam segala sesuatu, karena ia tidak lagi melihat melalui kacamata egonya yang kotor, melainkan melalui cahaya Nya yang telah mulai bersinar di dalam kalbunya.

 

Ketika hijab diri telah sepenuhnya tersingkap, seorang hamba akan memasuki sebuah pengalaman spiritual yang disebut fana. Fana secara harfiah berarti lebur atau lenyap. Ini bukanlah kelenyapan fisik, melainkan kelenyapan kesadaran akan diri sendiri dan segala sesuatu selain Allah (siwallah). Dalam keadaan ini, yang ada dalam kesadaran sang hamba hanyalah Allah. Ia lebur dalam penyaksian akan keagungan Nya, sehingga ia tidak lagi menyadari keberadaan dirinya sendiri.

Fana adalah pengalaman puncak dari cinta dan kerinduan. Sebagaimana seorang pecinta yang terpesona oleh keindahan sang kekasih hingga ia lupa akan sekelilingnya, demikian pula seorang hamba yang telah mabuk dalam cinta ilahi. Ia tidak lagi melihat ciptaan sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai manifestasi semata dari wujud Sang Kekasih. Pandangannya telah menjadi pandangan tauhid yang murni.

Namun, fana bukanlah tujuan akhir. Setelah fana, Allah akan menganugerahkan keadaan baqa, yang berarti kekal atau subsisten. Dalam keadaan baqa, seorang hamba dikembalikan kesadarannya, namun kini ia hidup dan bertindak bukan lagi dengan dirinya sendiri, melainkan hidup dengan dan untuk Allah. Pandangannya tetap pada Allah, namun ia mampu berinteraksi dengan ciptaan Nya dengan kesadaran penuh. Ia menjadi wakil Allah di muka bumi, menebarkan rahmat dengan mata yang senantiasa memandang Nya.

Inilah maqam para wali dan nabi. Mereka berjalan di pasar, berumah tangga, dan memimpin masyarakat, namun hati mereka tidak pernah sedetikpun lalai dari Allah. Gerak mereka adalah gerak dengan Allah, ucapan mereka adalah ucapan dari Allah. Mereka melihat jejak Allah dalam segala sesuatu secara permanen, bukan lagi sebagai pengalaman sesaat. Penyaksian telah menjadi nafas kehidupan mereka.

 

Pandangan yang senantiasa menyaksikan jejak Allah dalam segala sesuatu akan melahirkan buah yang paling manis, yaitu cinta (mahabbah) dan kasih sayang (rahmah) yang bersifat universal. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa membenci atau menyakiti makhluk lain, jika ia melihat jejak Sang Kekasih pada makhluk tersebut? Bagaimana mungkin ia bisa merusak alam, jika ia melihat alam sebagai surat cinta dari Tuhannya?

Ketika seorang arif melihat manusia lain, ia tidak lagi melihat suku, ras, atau status sosialnya. Ia melihat seorang hamba dari Tuhan yang sama, sebuah ruh yang ditiupkan dari Sumber yang sama. Jika ia melihat ketaatan pada diri orang lain, ia melihatnya sebagai karunia Allah dan ia bersyukur. Jika ia melihat kemaksiatan, ia melihatnya sebagai ujian dari Allah bagi orang tersebut dan ia mendoakannya dengan penuh kasih sayang, bukan menghakiminya dengan kesombongan.

Cintanya tidak lagi terbatas pada lingkaran kecil keluarga atau kelompoknya. Cintanya meluas hingga mencakup seluruh ciptaan, karena ia melihat semua ciptaan sebagai keluarga Allah (iyalullah). Ia akan menyayangi binatang, memelihara tumbuhan, dan menjaga lingkungan, bukan hanya karena alasan ekologis, tetapi karena alasan spiritual yang mendalam. Setiap perbuatan baik kepada makhluk adalah bentuk pengabdian dan ungkapan cinta kepada Sang Pencipta.

Inilah akhlak yang dicontohkan oleh Rosulullah dan para pewarisnya. Hati mereka adalah samudra rahmat yang menampung seluruh makhluk. Mereka menjadi sumber kedamaian dan keamanan bagi sekelilingnya. Kehadiran mereka menyejukkan, perkataan mereka menyembuhkan, dan perbuatan mereka menginspirasi. Semua itu adalah buah alami yang tumbuh dari pohon makrifat yang akarnya tertancap kuat dalam penyaksian akan keesaan Allah.

 

Pada akhirnya, memandang jejak Allah dalam segala sesuatu bukanlah sebuah teori filosofis yang rumit. Ia adalah sebuah cara hidup, sebuah kesadaran yang dihidupi dalam setiap tarikan nafas. Ia adalah seni menjalani kehidupan duniawi dengan hati yang senantiasa terpaut pada realitas surgawi. Ini adalah tentang mengubah setiap momen biasa menjadi momen luar biasa yang dipenuhi dengan kehadiran Nya.

Perjalanan ini dimulai dari langkah pertama yang sederhana: niat yang tulus untuk mengenal Nya. Kemudian dilanjutkan dengan upaya membersihkan hati melalui taubat dan zikir. Lalu diperkuat dengan melatih akal dan jiwa untuk bertafakur, merenungkan tanda tanda kebesaran Nya yang ada di dalam diri (anfus) dan di segenap penjuru alam (afaq).

Seiring berjalannya waktu, dengan rahmat dan pertolongan Nya, pandangan seorang hamba akan bergeser. Ia tidak lagi hanya melihat apa yang ada di hadapannya, tetapi mulai bertanya Siapa di balik semua ini. Pandangannya berubah dari pandangan mata kepala menjadi pandangan mata hati. Saat itulah, seluruh alam semesta berhenti menjadi sekumpulan benda dan peristiwa, dan berubah menjadi simfoni indah yang tanpa henti mengumandangkan nama Sang Kekasih.

Inilah kehidupan seorang arif. Hidupnya adalah ibadah, diamnya adalah zikir, dan pandangannya adalah tasbih. Ia telah menemukan surga di dalam hatinya sendiri, sebuah surga makrifat di mana ia senantiasa berjalan bersama Allah, memandang wajah Nya yang agung dan indah yang terpantul pada setiap cermin ciptaan Nya. Ia telah pulang ke rumah sejatinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis