MENJELAJAHI BUDAYA KUYANG, RAHASIA MINYAK BINTANG
Jauh di pedalaman tanah
Kalimantan, di sebuah desa permai bernama Sungai Jernih yang dikelilingi
rimbunnya hutan belantara, tersimpan sebuah bisik-bisik mengerikan yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Ini bukanlah kisah tentang pahlawan gagah
berani, melainkan tentang teror yang datang dari kegelapan, tentang sosok yang
melepaskan kepala dari raganya untuk memburu kehidupan. Kisah ini adalah
tentang Kuyang, makhluk yang namanya saja sudah cukup untuk membuat bulu kuduk
berdiri. Mari kita telusuri jejaknya, tidak hanya di tanah Borneo, tetapi juga
melintasi lautan untuk memahami bagaimana satu wujud ketakutan bisa memiliki
banyak wajah di seluruh Nusantara.
Kehidupan di Desa Sungai Jernih
awalnya berjalan damai dan tenteram. Warganya hidup dari hasil hutan dan aliran
sungai yang tak pernah kering. Namun, kedamaian itu mulai terkoyak ketika
sebuah teror tak kasat mata mulai menghantui. Semua berawal ketika beberapa
wanita yang tengah mengandung tua jatuh sakit secara misterius. Wajah mereka
pucat pasi, tubuh mereka lemas seolah sari kehidupan mereka telah dihisap
habis. Tak lama berselang, bayi-bayi yang baru lahir pun mengalami nasib
serupa, menangis lemah di malam hari sebelum akhirnya menghembuskan napas
terakhir.
Ketakutan menyebar lebih cepat
daripada api di musim kemarau. Para suami menjaga istri mereka dengan waspada,
pintu dan jendela ditutup rapat bahkan sebelum matahari terbenam. Dukun kampung
telah mengerahkan segala kemampuannya, namun penyakit aneh ini tidak kunjung
menemukan penawarnya. Suasana desa menjadi mencekam, tawa anak-anak yang biasa
terdengar di sore hari kini digantikan oleh kesunyian yang berat dan penuh
curiga. Para warga saling berbisik, menduga ini adalah perbuatan ilmu hitam.
Puncak ketakutan terjadi di suatu
malam tanpa bulan. Seorang pemuda bernama Banyu, yang sedang berjaga di luar
rumah karena istrinya akan segera melahirkan, melihat sesuatu yang membuatnya
nyaris kehilangan akal. Dari kejauhan, ia melihat sebuah cahaya kemerahan
terbang melayang rendah di antara pepohonan. Semakin dekat, ia dapat melihat
wujudnya dengan jelas: sebuah kepala wanita dengan rambut panjang tergerai, dan
organ-organ dalamnya menjuntai ke bawah, berkilauan mengerikan di bawah cahaya
obornya.
Makhluk itu terbang tanpa suara,
seolah sedang mencari mangsa. Jantung Banyu berdebar kencang, ia segera
memadamkan obornya dan bersembunyi di balik pohon besar. Dari celah
persembunyiannya, ia melihat kepala terbang itu mendekati sebuah rumah di mana
seorang wanita baru saja melahirkan. Banyu hanya bisa berdoa dalam hati,
memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa atas keselamatan tetangganya. Ia
tahu, desanya sedang berhadapan dengan makhluk yang selama ini hanya ia dengar
dari cerita-cerita pengantar tidur: Kuyang.
Keesokan paginya, kabar duka
kembali menyelimuti desa. Bayi yang baru lahir di rumah yang didatangi makhluk
semalam telah meninggal dunia. Banyu, dengan tubuh masih gemetar, memberanikan
diri menceritakan apa yang ia lihat kepada kepala desa dan para tetua.
Ceritanya disambut dengan tatapan ngeri dan ketakutan. Mereka sadar, ini
bukanlah wabah penyakit biasa, melainkan teror dari sosok gaib yang haus akan
darah suci para ibu dan bayi.
Kabar kesaksian Banyu menyebar ke
seluruh penjuru desa. Para warga berkumpul di balai desa, wajah mereka dipenuhi
kecemasan dan kebingungan. Mereka membutuhkan jawaban, sebuah penjelasan
tentang makhluk apa yang sedang meneror kehidupan mereka. Di tengah kerumunan
itu, duduk seorang wanita tua yang sangat dihormati, Embah Suria. Usianya sudah
lebih dari seratus tahun, dan matanya yang keriput seolah menyimpan seluruh
sejarah desa di dalamnya. Dengan suara yang lirih namun jelas, ia mulai angkat
bicara.
Embah Suria membenarkan bahwa
makhluk yang dilihat Banyu adalah Kuyang. Ia menjelaskan bahwa Kuyang bukanlah
hantu atau roh penasaran, melainkan manusia biasa, seorang wanita yang menuntut
ilmu hitam tingkat tinggi. Biasanya, ilmu ini dipelajari untuk mendapatkan
kecantikan abadi, awet muda, atau untuk membalaskan dendam. Untuk
menyempurnakan ilmunya, ia harus meminum darah wanita hamil atau darah bayi
yang baru lahir, karena diyakini memiliki sari kehidupan yang paling murni.
Para warga mendengarkan dengan
napas tertahan. Embah Suria melanjutkan penjelasannya. Pada siang hari, pelaku
ilmu Kuyang akan berbaur seperti warga biasa. Tidak ada yang aneh dari
penampilannya, mungkin hanya ia terlihat lebih cantik atau lebih muda dari
usianya. Namun, ketika malam tiba, ia akan melakukan sebuah ritual. Dengan
mengoleskan minyak khusus yang disebut Minyak Bintang ke lehernya, ia dapat
melepaskan kepalanya dari tubuhnya.
Kepala itulah yang kemudian
terbang bersama organ dalamnya untuk mencari mangsa. Lidahnya yang panjang
mampu menjulur melalui celah-celah rumah untuk menghisap darah korbannya tanpa
meninggalkan bekas luka. Inilah mengapa para korban hanya terlihat pucat dan
lemas, seolah terserang penyakit aneh. Warga desa menjadi semakin ngeri
mendengarnya, karena itu berarti sang peneror hidup di antara mereka.
Embah Suria juga menambahkan
bahwa Kuyang adalah legenda yang sangat tua di tanah Borneo dan wilayah
sekitarnya. Ia adalah simbol dari ambisi dan jalan pintas yang salah.
Keinginannya untuk menentang kodrat, untuk mendapatkan keabadian atau
kecantikan dengan cara terlarang, telah mengubahnya menjadi monster yang
memangsa kaumnya sendiri. Penjelasan Embah Suria membuka mata para warga, namun
juga menimbulkan pertanyaan baru yang lebih menakutkan: siapa di antara mereka
yang merupakan jelmaan Kuyang?
Setelah menjelaskan asal-usul
Kuyang, Embah Suria kemudian membagikan pengetahuan tentang kelemahannya. Ia
berkata, "Setiap kekuatan besar yang didapat dari jalan sesat, pasti
memiliki kelemahan yang besar pula. Allah itu Maha Adil." Kelemahan
terbesar Kuyang, kata Embah Suria, terletak pada dua hal: Minyak Bintang yang
menjadi sumber kekuatannya, dan tubuhnya yang ia tinggalkan saat beraksi. Tanpa
kedua hal itu, ia tidak berdaya.
Minyak Bintang adalah ramuan gaib
yang dibuat dari minyak kelapa yang dimasak dengan ramuan khusus di atas
tengkorak manusia. Proses pembuatannya sangat rahasia dan hanya diketahui oleh
para penganut ilmu hitam. Minyak inilah yang memberinya kemampuan untuk
melepaskan dan menyatukan kembali kepalanya. Jika seseorang berhasil menemukan
dan menghancurkan wadah minyak tersebut, maka kekuatan Kuyang akan melemah
secara signifikan.
Namun, kelemahan yang paling
fatal adalah tubuhnya. Ketika kepala dan organ dalamnya terbang, tubuhnya yang
tanpa kepala akan tetap berada di tempat ia melakukan ritual, biasanya di
tempat tersembunyi seperti kamar tidur atau sebuah gubuk di tengah hutan. Tubuh
ini sangat rentan. Jika ada yang berhasil menemukannya, mereka bisa mengisinya
dengan benda-benda tajam seperti pecahan kaca, duri salak, atau menaburinya
dengan garam kasar dalam jumlah banyak.
Ketika sang kepala Kuyang kembali
sebelum fajar, ia tidak akan bisa menyatu kembali dengan tubuhnya yang telah
"tercemar". Rasa sakit yang luar biasa akan menyiksanya, karena
kepala dan tubuhnya saling menolak. Dalam kondisi tersiksa seperti itu, ia
tidak akan bisa bertahan lama. Ketika cahaya matahari pertama menyentuh
kulitnya, ia akan musnah menjadi abu, dan terornya pun akan berakhir untuk
selamanya.
Mendengar hal itu, secercah
harapan muncul di hati para warga Desa Sungai Jernih. Mereka kini tahu apa yang
harus dilakukan. Tugas mereka sekarang adalah menemukan siapa pelaku ilmu
Kuyang dan di mana ia menyembunyikan tubuhnya. Perburuan pun dimulai. Para pria
desa membentuk kelompok-kelompok kecil, bertekad untuk berpatroli setiap malam,
bukan hanya untuk berjaga, tetapi juga untuk mencari petunjuk yang bisa
mengarahkan mereka kepada sang peneror.
Beberapa hari setelah pertemuan
di balai desa, seorang pengelana dari negeri seberang yang kapalnya singgah
untuk mengambil air, mendengar tentang teror yang melanda Desa Sungai Jernih.
Pengelana itu berasal dari kepulauan yang jauh di utara, yang kini dikenal
sebagai Filipina. Merasa prihatin, ia pun berbagi sebuah kisah dari kampung
halamannya yang memiliki kemiripan luar biasa dengan Kuyang. Di negerinya,
makhluk serupa disebut sebagai Manananggal.
Sang pengelana bercerita bahwa
Manananggal juga merupakan seorang wanita yang mampu memisahkan tubuhnya untuk
terbang di malam hari. Namun, ada perbedaan yang mendasar. Jika Kuyang hanya
melepaskan kepala dan organ dalamnya, Manananggal memisahkan dirinya dari
bagian pinggang ke atas. Tubuh bagian atasnya, lengkap dengan kepala, lengan,
dan organ dalam yang menjuntai, akan menumbuhkan sayap besar seperti kelelawar
untuk terbang mencari mangsa.
Berbeda dengan Kuyang yang target
utamanya adalah wanita hamil dan bayi, Manananggal memiliki mangsa yang lebih
beragam. Ia bisa menyerang siapa saja yang sedang tidur, terutama di
daerah-daerah terpencil. Dengan lidahnya yang panjang dan setipis benang, ia
akan menghisap darah korbannya. Namun, favoritnya tetaplah jantung janin yang
masih berada di dalam kandungan, yang ia hisap dari atas atap rumah.
Para warga desa tertegun
mendengar cerita itu. Mereka tidak menyangka bahwa di belahan dunia lain, ada
makhluk yang begitu mirip dengan teror yang mereka hadapi. Sang pengelana juga
menceritakan kelemahan Manananggal, yang ternyata juga sama. Tubuh bagian
bawahnya yang ditinggalkan sangat rentan. Jika ditaburi garam atau bawang
putih, maka bagian atas tubuhnya tidak akan bisa kembali menyatu.
Kisah dari pengelana Filipina ini
memberikan perspektif baru bagi warga Desa Sungai Jernih. Mereka menyadari
bahwa ketakutan terhadap makhluk penghisap darah yang berwujud wanita ini
bukanlah milik mereka semata. Ini adalah ketakutan purba yang menyebar di
berbagai kebudayaan, sebuah simbol universal tentang bahaya yang mengintai dari
kegelapan, dan pengkhianatan dari orang yang terlihat biasa di siang hari. Ini
memperkuat tekad mereka untuk mengakhiri teror di desa mereka sendiri.
Seakan belum cukup, tak lama
setelah kepergian sang pengelana, seorang saudagar kaya dari Semenanjung Malaya
(sekarang Malaysia) datang berdagang ke desa. Ia pun mendengar kisah tentang
Kuyang yang meresahkan warga. Dengan raut wajah yang serius, ia menimpali bahwa
di negerinya pun ada legenda yang serupa, mereka menyebutnya Penanggal atau
Penanggalan. Ceritanya begitu mirip hingga membuat bulu kuduk berdiri.
Sang saudagar menjelaskan,
Penanggal sama seperti Kuyang, adalah seorang wanita yang menuntut ilmu hitam
demi kecantikan. Ia juga melepaskan kepalanya di malam hari untuk berburu
darah. Sosoknya digambarkan sebagai kepala terbang dengan organ perut yang
menjuntai. Bedanya, Penanggal sering digambarkan memiliki lidah yang sangat
panjang dan mampu terbang sangat tinggi dan cepat, membuatnya sulit untuk
dilacak.
Target utama Penanggal, kata sang
saudagar, adalah darah bayi dan wanita yang baru melahirkan. Konon, ia sangat
iri dengan wanita-wanita yang bisa memiliki keturunan, karena penganut ilmu
hitam ini biasanya mandul sebagai syarat ilmunya. Oleh karena itu, ia
melampiaskan dendamnya dengan memburu para ibu dan bayi. Untuk melindungi diri,
orang-orang di kampungnya biasa meletakkan dahan berduri dari pohon mengkuang
di sekitar jendela dan pintu.
Duri-duri itu dipercaya dapat
menjerat atau melukai organ dalam Penanggal yang menjuntai saat ia mencoba
mendekati rumah. Sama seperti Kuyang dan Manananggal, kelemahan utamanya adalah
tubuh yang ditinggalkan. Orang-orang di negerinya juga akan mengisi tubuh kosong
itu dengan pecahan kaca dan garam agar sang kepala tidak bisa kembali bersatu.
Setelah mendengar cerita ini, warga semakin yakin bahwa makhluk ini memiliki
pola yang sama di manapun ia berada.
Pengetahuan yang dibagikan oleh
orang-orang dari berbagai negeri ini memberikan kekuatan bagi warga Desa Sungai
Jernih. Mereka tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi teror ini. Mereka
memahami bahwa Kuyang, Manananggal, dan Penanggal adalah manifestasi dari
ketakutan budaya yang sama: ketakutan akan kehilangan generasi penerus,
ketakutan akan ilmu gaib yang merusak, dan ketakutan akan musuh dalam selimut.
Berbekal pengetahuan dari Embah
Suria dan para pendatang, warga Desa Sungai Jernih mulai mengamati tetangga
mereka dengan lebih saksama. Kecurigaan mereka akhirnya tertuju pada seorang
wanita bernama Ratna. Ratna bukanlah penduduk asli desa; ia datang beberapa
tahun lalu dan mengaku sebagai seorang janda kaya yang mencari ketenangan.
Wajahnya sangat cantik dan kulitnya mulus tanpa cela, seolah usianya tidak pernah
bertambah sedikit pun.
Keanehan Ratna mulai terlihat
jelas. Ia tinggal sendiri di sebuah rumah besar di ujung desa dan sangat jarang
bersosialisasi. Pada siang hari, ia lebih banyak mengurung diri di dalam rumah.
Namun, yang paling mencurigakan adalah ia selalu mengenakan selendang atau kain
yang menutupi lehernya, seolah menyembunyikan sesuatu. Beberapa warga yang
pernah berpapasan dengannya di malam hari juga sering mencium aroma wangi bunga
melati yang aneh bercampur dengan bau anyir yang samar.
Banyu, yang pertama kali melihat
Kuyang, bersama beberapa pemuda pemberani memutuskan untuk mengintai rumah
Ratna. Selama beberapa malam, mereka bersembunyi di semak-semak dekat rumahnya,
mengamati setiap gerak-geriknya. Mereka melihat Ratna seringkali melakukan
ritual aneh di kamarnya pada tengah malam, dengan cahaya lilin yang
berkelip-kelip dari balik jendela.
Suatu malam, kecurigaan mereka
terbukti. Dari celah dinding kayu, mereka mengintip ke dalam. Mereka melihat
Ratna duduk bersila di depan sebuah tempayan besar. Ia kemudian membuka tutup
tempayan itu, yang ternyata berisi minyak berwarna kehitaman. Dengan gerakan
yang lambat, ia mengoleskan minyak itu ke sekeliling lehernya sambil
menggumamkan mantra-mantra yang tidak mereka mengerti.
Sesaat kemudian, pemandangan
paling mengerikan tersaji di depan mata mereka. Kepala Ratna perlahan terlepas
dari tubuhnya, diikuti oleh jantung, paru-paru, dan ususnya yang menjuntai.
Kepala itu kemudian melayang keluar melalui jendela yang terbuka, meninggalkan
tubuhnya yang lunglai dan tanpa kepala di atas lantai. Para pemuda itu menahan
napas, memastikan sang Kuyang telah terbang jauh sebelum mereka bertindak.
Setelah Kuyang jelmaan Ratna
terbang menjauh untuk mencari mangsa, Banyu dan para pemuda segera mendobrak
pintu rumahnya. Dengan obor di tangan, mereka masuk ke dalam kamar yang berbau
busuk dan anyir. Di sana, mereka menemukan tubuh Ratna yang tak berkepala,
terduduk kaku seperti patung. Di sampingnya, terdapat tempayan besar berisi
Minyak Bintang yang menjadi sumber kekuatannya.
Tanpa membuang waktu, mereka
segera melaksanakan rencana yang telah diajarkan oleh Embah Suria. Sebagian
pemuda mengambil tempayan berisi minyak itu dan menumpahkan isinya ke tanah,
lalu memecahkan tempayan itu hingga berkeping-keping. Dengan hancurnya wadah
Minyak Bintang, kekuatan Kuyang diyakini akan berkurang drastis. Sementara itu,
Banyu dan yang lainnya segera bekerja untuk "mengisi" tubuh Ratna.
Mereka membawa masuk
karung-karung berisi garam kasar, pecahan kaca, dan duri-duri tajam yang telah
mereka siapkan. Dengan perasaan jijik dan ngeri, mereka memasukkan semua benda
itu ke dalam rongga leher tubuh Ratna yang terbuka. Mereka memadatkannya hingga
penuh, tidak menyisakan ruang sedikit pun. Mereka memastikan bahwa tidak akan
mungkin bagi sang kepala untuk bisa masuk dan menyatu kembali.
Setelah selesai, mereka segera
meninggalkan rumah itu dan bersembunyi di kejauhan, menunggu kembalinya sang
Kuyang. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Suara-suara malam di hutan seolah
ikut menahan napas, menanti puncak dari pertarungan antara kebaikan dan
kejahatan. Langit di ufuk timur mulai menunjukkan semburat fajar, pertanda
waktu bagi sang Kuyang hampir habis.
Tidak lama kemudian, mereka
melihat cahaya kemerahan itu terbang kembali menuju rumah. Kepala Ratna
melayang dengan tergesa-gesa, seolah tahu bahwa fajar akan segera tiba. Ia
melesat masuk ke dalam kamarnya, mencoba untuk menyatukan diri dengan tubuhnya.
Namun, yang terjadi selanjutnya adalah jeritan pilu yang memekakkan telinga.
Jeritan yang keluar dari mulut
Kuyang adalah jeritan kesakitan yang tak terperi. Kepalanya tidak bisa menyatu
dengan tubuhnya. Garam kasar dan benda-benda tajam yang mengisi rongga tubuhnya
memberikan rasa sakit yang membakar. Ia mencoba berkali-kali, namun setiap upaya
hanya menambah siksaannya. Kepala itu melayang-layang tak tentu arah di dalam
kamar, menabrak dinding dengan panik, sementara tubuhnya tetap kaku tak
bergerak.
Di luar, fajar mulai menyingsing.
Sinar matahari pertama yang keemasan mulai menerobos masuk melalui celah
jendela. Ketika sinar suci itu menyentuh kulit kepala Kuyang, jeritannya
menjadi semakin keras sebelum akhirnya lenyap. Tubuh dan kepalanya mengeluarkan
asap hitam pekat, lalu hancur lebur menjadi debu dan menghilang ditelan angin
pagi. Teror Kuyang di Desa Sungai Jernih telah berakhir.
Kabar hancurnya Kuyang disambut
dengan suka cita dan kelegaan oleh seluruh warga. Mereka berterima kasih kepada
Banyu dan para pemuda pemberani, juga kepada Embah Suria yang telah memberikan
mereka pengetahuan. Mereka belajar sebuah pelajaran berharga, tidak hanya
tentang bagaimana mengalahkan monster, tetapi juga tentang sifat manusia itu
sendiri. Kuyang adalah simbol dari keserakahan, iri hati, dan ambisi buta yang
dapat mengubah manusia menjadi makhluk yang lebih rendah dari binatang.
Kisah Kuyang, Manananggal, dan
Penanggal yang mereka dengar menjadi pengingat abadi. Bahwa di setiap
kebudayaan, ketakutan terhadap hal-hal gaib seringkali berakar dari kecemasan
yang nyata: ketakutan akan penyakit, kematian, dan hilangnya orang-orang yang
paling rentan dan kita cintai, yaitu para ibu dan anak-anak. Legenda ini
mengajarkan pentingnya menjaga keharmonisan, menolak jalan pintas yang sesat,
dan kekuatan sebuah komunitas yang bersatu padu untuk melindungi anggotanya
yang lemah.
Sejak saat itu, Desa Sungai
Jernih kembali damai. Namun, kisah Kuyang terus diceritakan, bukan untuk
menakut-nakuti, melainkan sebagai sebuah pesan moral. Bahwa kecantikan sejati
tidak datang dari ilmu hitam, tetapi dari hati yang bersih. Dan kekuatan sejati
bukanlah kemampuan untuk terbang di malam hari, melainkan keberanian untuk
menghadapi kegelapan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri kita
sendiri. Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita
kembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui.
Komentar
Posting Komentar