SANGAT RENDAH HATI (TAWADHU), CIRI MAKRIFATULLAH
Semakin ia mengenal keagungan Allah,
semakin ia menyadari betapa kecil dan tiada berartinya dirinya. Pengenalannya
akan Allah melahirkan pengenalan sejati akan hakikat dirinya sebagai hamba yang
fakir. Hal ini membuatnya sangat rendah hati, jauh dari sifat sombong (ujub)
dan riya.
Tawadhu, atau kerendahan hati,
bukanlah sekadar sebuah sikap yang dibuat-buat atau tata krama lahiriah semata.
Dalam pandangan ilmu tasawuf, tawadhu adalah buah yang tumbuh dari sebatang
pohon makrifat yang akarnya menancap kuat di dalam kalbu. Ia merupakan
manifestasi alami dari pengenalan seorang hamba terhadap Tuhannya. Semakin
seorang hamba menyelami lautan makrifat, semakin ia merasakan keagungan Allah
yang tiada bertepi, dan pada saat yang sama, ia akan melihat betapa kecil dan
ringkihnya keberadaan dirinya di hadapan kemahabesaran itu.
Pengenalan ini bukanlah
pengetahuan konseptual yang hanya berhenti di akal, melainkan sebuah pengalaman
batin yang menggetarkan seluruh jiwa. Ketika cahaya keagungan Ilahi mulai
menyingkap tabir-tabir hati, seorang hamba tak lagi memiliki ruang untuk
memandang dirinya sendiri dengan pandangan kebesaran. Ia luluh, lebur, dan
sirna dalam kesadaran akan kekuasaan mutlak Sang Pencipta. Sifat rendah hati
yang muncul dari proses ini adalah sifat yang otentik, lahir dari kesadaran
terdalam, bukan dari kepura-puraan untuk mendapat pujian manusia.
Para sufi mengajarkan bahwa
puncak dari ilmu adalah ketika seorang insan menyadari ketidaktahuannya di
hadapan ilmu Allah yang Mahaluas. Demikian pula puncak dari kekuatan adalah
kesadaran akan kelemahan diri di hadapan daya dan kekuatan Allah yang tiada
tara. Kesadaran inilah yang menjadi pupuk bagi benih-benih tawadhu. Ia akan
tumbuh subur, meneduhkan jiwa, dan menghindarkan seorang hamba dari terik api
kesombongan.
Al-Imam Al-Ghazali menjelaskan
bahwa tawadhu adalah pertengahan antara dua sifat tercela: takabur (sombong)
dan rendah diri yang hina. Orang yang tawadhu tidak merasa dirinya lebih hebat
dari orang lain, namun juga tidak menghinakan dirinya hingga kehilangan harga
diri. Ia menempatkan dirinya secara proporsional di hadapan Allah dan di
hadapan sesama makhluk. Sikap inilah yang lahir dari makrifat sejati, sebuah
pengenalan yang membuahkan ketenangan dan keseimbangan dalam setiap gerak dan
diamnya.
Konsep faqr atau kefakiran dalam
tasawuf memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemiskinan
materi. Kefakiran sufi adalah sebuah kesadaran spiritual bahwa pada hakikatnya,
seorang hamba tidak memiliki apa pun. Ilmu, kekuatan, kekayaan, dan segala
atribut kelebihan yang melekat pada dirinya hanyalah pinjaman dan anugerah
semata dari Sang Mahakaya. Pengenalan akan keagungan Allah secara otomatis akan
melahirkan kesadaran akan kefakiran hakiki ini.
Seorang salik (penempuh jalan
spiritual) yang mulai menyaksikan jejak-jejak kebesaran Allah dalam setiap
ciptaan akan menyadari bahwa dirinya hanyalah wadah kosong yang diisi oleh
kemurahan Ilahi. Kesadaran inilah yang memadamkan api keakuan (ego). Ia tidak
lagi melihat perbuatannya sebagai hasil dari kehebatannya sendiri, melainkan
sebagai buah dari taufik dan pertolongan Allah. Di sinilah letak perbedaan
mendasar antara orang yang berilmu dengan orang yang arif; yang berilmu mungkin
masih melihat ilmunya sebagai miliknya, namun yang arif melihat ilmunya sebagai
titipan dari Yang Maha Mengetahui.
Para wali sufi seringkali
menggambarkan diri mereka sebagai pengemis di pintu gerbang kemurahan Allah.
Ini bukanlah ekspresi keputusasaan, melainkan puncak dari adab dan pengenalan.
Mereka memahami bahwa satu-satunya kekayaan sejati adalah merasa butuh
sepenuhnya kepada Allah. Dalam keadaan merasa tidak memiliki apa-apa inilah,
hati menjadi lapang untuk menerima anugerah-anugerah spiritual yang lebih
besar. Sebaliknya, hati yang penuh dengan rasa kepemilikan dan keakuan akan
sulit ditembus oleh cahaya Ilahi.
Dalam Al-Quran, Allah berfirman,
"Wahai manusia, kamulah yang fakir (membutuhkan) kepada Allah; dan Allah,
Dialah Yang Mahakaya, Maha Terpuji." Ayat ini menjadi landasan bagi para
pencari kebenaran untuk senantiasa menempatkan diri dalam posisi kefakiran.
Dengan merangkul kefakiran ini, seorang hamba membebaskan dirinya dari belenggu
dunia dan ketergantungan pada selain Allah. Ia menemukan kemuliaan justru dalam
kehinaannya di hadapan Sang Pencipta, dan menemukan kekayaan dalam
kemiskinannya di hadapan Sang Mahakaya.
Pengenalan sejati akan keagungan Allah
dan kefakiran diri adalah penawar paling mujarab bagi dua penyakit hati yang
paling merusak: ujub (kagum pada diri sendiri) dan riya (pamer amalan). Kedua
sifat ini muncul dari akar yang sama, yaitu kejahilan terhadap hakikat diri dan
kebesaran Tuhan. Ketika seorang hamba lupa bahwa segala kebaikan dan kemampuan
berasal dari Allah, ia mulai menganggapnya sebagai miliknya sendiri, lalu
muncullah rasa bangga dan kagum pada diri sendiri.
Ujub adalah bentuk kesyirikan
yang tersembunyi, di mana seorang hamba secara tidak sadar telah menjadikan
dirinya sendiri sebagai tandingan bagi Allah dalam keberhasilan amalannya. Ia
merasa memiliki andil dalam kebaikan yang dilakukannya, lupa bahwa tanpa daya
dan kekuatan dari Allah, ia tidak akan mampu melakukan apa pun. Al-Imam
Al-Ghazali menggambarkan ujub sebagai penyakit kronis yang membuat pengidapnya
merasa mulia dan besar diri, sambil meremehkan orang lain. Penyakit ini
membutakan mata hati dari melihat kekurangan diri sendiri dan anugerah Allah.
Sementara itu, riya adalah
turunan dari ujub. Setelah merasa kagum dengan amalannya sendiri, seorang hamba
kemudian berhasrat untuk memamerkannya kepada orang lain demi mendapatkan
pujian dan pengakuan. Amal yang seharusnya menjadi jembatan menuju Allah, justru
dibelokkan tujuannya kepada makhluk. Ini adalah sebuah kerugian yang nyata,
sebab amalan yang tercampur riya akan sia-sia dan tidak bernilai di sisi Allah.
Setan akan terus menggoda orang-orang saleh agar terjerumus ke dalam riya dan
ujub untuk merusak ibadah mereka.
Jalan untuk membersihkan hati
dari ujub dan riya adalah dengan terus-menerus merenungi kebesaran Allah dan
kehinaan diri. Dengan menyadari bahwa setiap kebaikan adalah murni karuniaNya,
tidak akan ada lagi ruang untuk merasa bangga. Dengan memahami bahwa hanya Allah
yang pantas dipuji, tidak akan ada lagi hasrat untuk mencari pujian dari
makhluk. Inilah esensi dari ikhlas, yaitu memurnikan segala amal hanya untuk Allah,
sebuah sikap yang lahir secara alami dari rahim makrifat dan tawadhu.
Sebuah paradoks spiritual yang
agung menyatakan bahwa jalan menuju ketinggian derajat di sisi Allah adalah
melalui lembah kerendahan hati. Rosulullah bersabda, "Tidak ada seorangpun
yang bersifat tawadhu karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat
derajatnya." Hadis ini menyingkap sebuah rahasia besar dalam perjalanan
spiritual. Semakin seorang hamba menundukkan egonya, semakin jiwanya akan diangkat
menuju langit-langit kemuliaan.
Kerendahan hati bukanlah berarti
kehinaan di mata manusia, melainkan sebuah kemuliaan hakiki yang bersumber dari
Allah. Manusia seringkali keliru menganggap bahwa untuk dihormati, seseorang
harus menonjolkan diri dan menyombongkan kelebihannya. Namun, dalam timbangan
ilahiah, yang terjadi adalah sebaliknya. Kesombongan hanya akan menjerumuskan
pelakunya pada kerendahan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, tawadhu
adalah kunci yang membuka pintu-pintu rahmat dan cinta Ilahi.
Proses pengangkatan derajat ini
terjadi secara batiniah. Ketika hati seorang hamba telah bersih dari
kesombongan, ia menjadi seperti cermin yang jernih, siap memantulkan cahaya
sifat-sifat keagungan Allah. Hatinya menjadi lapang, tenang, dan dipenuhi
dengan kearifan. Orang lain pun akan merasakan keteduhan dan kedamaian saat
berinteraksi dengannya, sehingga ia akan dihormati bukan karena dibuat-buat,
melainkan karena akhlak mulianya yang memancar secara alami.
Kisah para nabi dan wali adalah
bukti nyata dari janji ini. Mereka adalah insan-insan yang paling tinggi
derajatnya, namun juga yang paling rendah hatinya. Nabi Muhammad, pemimpin
seluruh umat manusia, hidup dalam kesederhanaan dan senantiasa bersikap lembut
kepada siapa pun. Para wali sufi, seperti Abu Yazid al-Busthami, bahkan sampai
pada kesadaran di mana ia tidak melihat seorang pun di dunia ini yang lebih
rendah darinya, sebagai cerminan puncak kesadaran akan anugerah Allah. Mereka
mengajarkan bahwa dengan merendahkan sayap di hadapan kaum beriman, jiwa akan
terbang tinggi menuju hadiratNya.
Perjalanan para sufi dipenuhi
dengan kisah-kisah menakjubkan tentang kerendahan hati. Mereka tidak hanya
mengajarkan tawadhu melalui lisan, tetapi mewujudkannya dalam setiap tarikan
napas dan langkah kehidupan. Salah satu kisah yang masyhur adalah tentang Imam
Hasan al-Basri yang berprasangka buruk ketika melihat seorang pemuda duduk
berdua dengan perempuan di tepi sungai dengan botol di sampingnya. Namun,
prasangkanya sirna ketika pemuda itu justru menyelamatkan orang-orang yang
tenggelam dan menjelaskan bahwa perempuan itu adalah ibunya dan botol itu hanya
berisi air biasa. Kisah ini mengajarkan betapa mudahnya hati tergelincir pada
perasaan lebih baik dari orang lain.
Kisah agung lainnya datang dari
Abu Yazid al-Busthami yang suatu ketika mengangkat gamisnya agar tidak
tersentuh seekor anjing. Anjing itu, dengan izin Allah, berkata kepadanya bahwa
najis di tubuhnya bisa dibersihkan dengan air, namun najis kesombongan di dalam
hati karena merasa lebih mulia tidak akan bersih walau dibasuh dengan air tujuh
samudra. Peristiwa ini membuat Abu Yazid tersadar dan malu, menunjukkan betapa
halus dan tersembunyinya penyakit hati ini, bahkan pada seorang wali sekaliber
beliau.
Para sufi memahami bahwa tawadhu
bukanlah sekadar perilaku, melainkan keadaan batin. Syekh Ibnu Athaillah dalam
hikmahnya menyatakan bahwa orang yang benar-benar tawadhu bukanlah ia yang
bersikap rendah hati namun dalam hatinya merasa lebih tinggi dari sikap yang
ditampakkannya. Sebaliknya, orang yang tawadhu sejati adalah ia yang ketika merendahkan
diri, justru merasa bahwa dirinya masih lebih rendah dari apa yang telah ia
lakukan. Ini adalah cerminan dari pengenalan diri yang mendalam, di mana ia
sadar bahwa segala kebaikan yang tampak darinya hanyalah topeng dari kemurahan Allah
yang menutupi aib-aibnya.
Keteladanan mereka menjadi suluh
bagi para penempuh jalan spiritual. Mereka mengajarkan untuk senantiasa
berinteraksi dengan sesama makhluk dengan pandangan kasih sayang dan
penghormatan. Memandang anak kecil sebagai sosok yang belum berdosa, memandang
orang yang lebih tua sebagai sosok yang lebih dahulu beribadah, dan bahkan
memandang seorang pendosa dengan harapan bahwa bisa jadi Allah akan memberinya
taubat dan ampunan di akhir hayatnya. Pandangan inilah yang menjaga hati agar tetap
di daratan kerendahan, terhindar dari badai kesombongan.
Sifat tawadhu tidak tumbuh dalam
semalam. Ia memerlukan latihan (riyadhah) dan kesungguhan (mujahadah) yang
terus-menerus. Para ulama tasawuf telah memberikan beberapa panduan praktis
untuk menumbuhkan sifat mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pertama
dan paling fundamental adalah terus berusaha mengenal Allah melalui perenungan
atas ciptaanNya dan ayat-ayatNya. Semakin dalam pengenalan ini, semakin
otomatis rasa tawadhu akan bersemi.
Langkah kedua adalah senantiasa
mengenali kelemahan dan kekurangan diri sendiri. Seorang insan hendaknya sering
berkaca pada dosa-dosa dan aib-aibnya yang tersembunyi, yang hanya diketahui oleh
Allah. Dengan menyadari betapa banyak kekurangan yang ada pada diri, tidak akan
ada lagi celah untuk membanggakan secuil kelebihan yang dimiliki. Ini akan
membantu seseorang untuk tidak mudah meremehkan orang lain.
Selanjutnya, membiasakan diri untuk
menghargai dan menghormati orang lain tanpa memandang status sosial, ilmu, atau
kekayaan adalah latihan yang sangat penting. Mau mendengarkan nasihat, menerima
kebenaran dari siapa pun datangnya, tidak memotong pembicaraan orang lain, dan
memenuhi undangan tanpa pandang bulu adalah beberapa wujud nyata dari sikap
tawadhu dalam pergaulan. Perbuatan baik yang dilakukan tanpa pamrih dan harapan
pujian juga merupakan cara efektif untuk melatih jiwa agar ikhlas dan rendah
hati.
Terakhir, memperbanyak doa dan
munajat kepada Allah, memohon agar dilindungi dari penyakit hati seperti
sombong, ujub, dan riya adalah senjata pamungkas seorang hamba. Mengakui
kelemahan dan ketidakberdayaan di hadapanNya, serta memohon pertolonganNya
untuk dapat menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, adalah esensi dari
penghambaan. Dengan memadukan ilmu, amal, dan doa, pohon tawadhu akan tumbuh
kokoh di dalam taman hati, membuahkan kedamaian dan kebahagiaan sejati.
Ungkapan sufi yang terkenal,
"Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya,"
menjadi inti dari ajaran tentang hubungan antara pengenalan diri dan pengenalan
akan Tuhan. Proses ini berjalan dua arah; pengenalan akan keagungan Allah membawa
pada pengenalan hakikat diri yang fakir, dan sebaliknya, perenungan mendalam
tentang hakikat diri akan mengantarkan pada kesadaran akan kebesaran Allah.
Inilah perjalanan dari mikro kosmos (diri manusia) menuju makro kosmos
(keagungan Ilahi).
Ketika seorang insan merenungi
asal-usulnya dari ketiadaan, kelemahannya saat bayi, kebutuhannya yang
terus-menerus akan udara, makanan, dan istirahat, serta kepastiannya akan
kembali menjadi tanah, ia akan sampai pada satu kesimpulan: dirinya adalah
makhluk yang sangat bergantung dan tidak memiliki daya apa pun dari dirinya
sendiri. Kesadaran akan kefanaan dan keterbatasan diri inilah yang menjadi
pintu gerbang untuk memahami sifat-sifat Allah yang Maha Hidup, Maha Kuasa, dan
Maha Kekal.
Para sufi mengajarkan bahwa di
dalam diri manusia terdapat cerminan dari Asmaul Husna (nama-nama indah Allah).
Namun, cerminan ini seringkali tertutup oleh debu-debu keakuan dan kelalaian.
Dengan membersihkan cermin hati melalui zikir, tafakur, dan penyucian jiwa
(tazkiyatun nafs), seorang hamba akan mulai melihat sifat-sifat Tuhan
termanifestasi dalam dirinya dalam bentuk yang sesuai dengan kapasitas
kemanusiaannya. Ia akan menyadari bahwa pengetahuannya adalah percikan dari
ilmu Allah, dan kasih sayangnya adalah pantulan dari sifat Ar-RahmanNya.
Kesadaran ini tidak akan
melahirkan kesombongan, justru sebaliknya, ia akan melahirkan rasa syukur dan
kerendahan hati yang luar biasa. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah citra, bukan
Sang Pemilik Asli. Pengenalan diri yang sejati inilah yang melahirkan tawadhu.
Ia tidak lagi tertipu oleh penampilan luar atau atribut duniawi, karena ia
telah menyelami hakikat dirinya sebagai seorang hamba ('abd) yang seluruh
eksistensinya bersumber dan bergantung sepenuhnya pada Sang Khaliq.
Tujuan akhir dari perjalanan
seorang sufi adalah mencapai kondisi fana' (lebur) di dalam kehendak Allah. Ini
adalah puncak dari penghambaan, di mana seorang hamba tidak lagi memiliki kehendak
sendiri yang terpisah dari kehendak Tuhannya. Seluruh pilihannya diserahkan
secara total kepada Allah. Inilah manifestasi tertinggi dari tawadhu, di mana
"aku" sebagai entitas yang mandiri telah sirna, yang ada hanyalah Allah
yang bergerak melalui dirinya.
Kondisi ini bukanlah kehilangan
kesadaran, melainkan pencapaian kesadaran tertinggi. Kesadaran bahwa hanya ada
satu pelaku hakiki di alam semesta ini, yaitu Allah. Amal perbuatan yang lahir
dari kondisi ini adalah amal yang paling murni, karena sudah tidak ada lagi
motif pribadi atau pamrih makhluk di dalamnya. Hamba tersebut menjadi laksana
pena di tangan Sang Penulis, atau alat di tangan Sang Empunya. Ia bergerak
bukan dengan dayanya, tetapi dengan daya Allah.
Ini adalah maqam (stasiun
spiritual) yang dicapai oleh para nabi dan para wali pilihan. Dalam Al-Quran, Allah
menyebut kekasihNya, Nabi Muhammad, dengan sebutan 'abdihi' (hambaNya) pada
peristiwa Isra Miraj, sebuah peristiwa spiritual teragung. Gelar 'hamba' di
sini menunjukkan tingkat penyerahan diri dan ketiadaan ego yang sempurna, yang
justru menjadi syarat untuk dapat diangkat ke sidratul muntaha, puncak
ketinggian.
Mencapai tingkatan ini memang
bukanlah perkara mudah, namun ia adalah cita-cita luhur setiap pencari
kebenaran. Jalan menuju ke sana dimulai dari langkah pertama: menyadari
keagungan Allah dan kehinaan diri. Dengan terus memupuk sifat tawadhu,
membersihkan hati dari ujub dan riya, serta menyerahkan diri sepenuhnya pada
bimbinganNya, seorang hamba akan terus diangkat derajatnya, selangkah demi
selangkah, hingga ia merasakan manisnya ketiadaan diri dan keabadian bersamaNya.
.png)
Komentar
Posting Komentar