TRAGEDI TUJUH PENDAKI DI GUNUNG CIREMAI
Gunung Ciremai, atap tertinggi
Jawa Barat, menjulang gagah di antara Kabupaten Kuningan, Cirebon, dan
Majalengka. Keindahannya yang memukau seringkali menjadi magnet bagi para
pendaki dari berbagai penjuru. Namun, di balik pesonanya, Ciremai menyimpan
aura misteri yang kental dan telah menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa
tragis. Salah satu yang paling melegenda adalah kisah hilangnya lima dari tujuh
pendaki asal Bekasi pada bulan Mei tahun 2009, sebuah perjalanan yang dimulai
dengan semangat namun berakhir dengan teka-teki tak terpecahkan.
Langit Bekasi pada Jumat sore, 22
Mei 2009, menjadi saksi bisu berkumpulnya tujuh orang sahabat yang diikat oleh
kecintaan yang sama terhadap alam. Dipimpin oleh Iwan, yang paling
berpengalaman di antara mereka, rombongan ini bersiap menuju Gunung Ciremai.
Tawa dan semangat membuncah, membayangkan sejuknya udara pegunungan dan
hangatnya api unggun di Bumi Perkemahan Palutungan, yang menjadi tujuan awal
mereka. Ransel-ransel terisi perbekalan seadanya, cukup untuk berkemah santai,
bukan untuk sebuah pendakian yang menuntut ketahanan fisik dan mental.
Setibanya di kaki Ciremai, udara
dingin dan aura magis gunung seolah menyihir mereka. Entah bisikan dari mana,
atau mungkin terdorong oleh ego dan semangat muda yang bergejolak, rencana awal
pun berubah. Iwan melontarkan sebuah gagasan yang disambut gegap gempita oleh
yang lain: menaklukkan puncak Ciremai. Mereka merasa tertantang oleh kegagahan
gunung tertinggi di Jawa Barat itu. Keputusan ini diambil dengan tergesa-gesa,
mengabaikan satu prosedur krusial yang seharusnya menjadi kitab suci setiap
pendaki, yaitu melapor dan mendaftar di pos perizinan.
Mereka memilih untuk menjadi
"pendaki gelap", menyelinap masuk ke dalam jalur pendakian tanpa
izin, tanpa pemahaman yang cukup tentang medan yang akan mereka hadapi. Mereka
tidak tahu bahwa langkah pertama yang mereka ambil di jalur ilegal itu adalah
langkah menuju sebuah labirin misteri. Di balik pepohonan yang rimbun dan jalur
yang sunyi, Ciremai seolah tersenyum menyeringai, menyambut ketujuh tamunya
yang datang tanpa permisi, siap untuk memberikan mereka sebuah pelajaran yang
tak akan pernah terlupakan.
Dalam kealpaan mereka, mereka
tidak menyadari bahwa setiap pendaki yang memasuki wilayah Ciremai tidak hanya
berhadapan dengan tantangan fisik, tetapi juga dengan dunia lain yang tak kasat
mata. Mereka telah melanggar etika pertama, sebuah "kulonuwun" atau
izin kepada para "penunggu" yang tak terlihat. Sebuah kelalaian yang
akan mereka bayar dengan harga yang sangat mahal.
Sabtu berlalu, diwarnai dengan
kelelahan yang mulai menggerogoti fisik dan mental ketujuh pendaki. Jalur yang
mereka tempuh terasa semakin berat, berbeda dengan jalur resmi yang biasa
dilalui. Semak belukar yang rapat dan tanjakan terjal yang seolah tak berujung
mulai mematahkan semangat mereka. Logistik yang mereka bawa pun menipis dengan
cepat, tidak sebanding dengan energi yang terkuras. Malam mulai turun, membawa
serta hawa dingin yang menusuk tulang dan kegelapan yang pekat.
Di tengah keputusasaan yang mulai
merayap, secercah sinyal muncul di layar salah satu telepon genggam mereka.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Mereka segera menghubungi rekan yang
menunggu di bawah, mengabarkan kondisi mereka yang genting. Suara di seberang
telepon terdengar panik dan terputus-putus. Mereka tersesat, benar-benar
kehilangan arah di tengah hutan Ciremai yang luas. Tidak ada penanda jalur,
tidak ada petunjuk, hanya hutan lebat sejauh mata memandang.
Kabar buruk tidak berhenti sampai
di situ. Disampaikan dengan suara bergetar, Iwan, sang pemimpin yang seharusnya
menjadi tumpuan harapan, justru mengalami musibah. Ia terperosok dan jatuh ke
dalam jurang. Kondisinya parah, cedera serius di kepala dan kemungkinan patah
tulang membuatnya tak bisa bergerak. Kabar ini seperti petir di siang bolong,
menghancurkan sisa-sisa moral yang mereka miliki. Pemimpin mereka lumpuh,
mereka tersesat, dan malam semakin larut.
Telepon itu menjadi kontak
terakhir mereka dengan dunia luar. Setelah itu, sinyal lenyap sepenuhnya,
ditelan oleh keheningan dan misteri Gunung Ciremai. Mereka kini benar-benar
terisolasi, terperangkap dalam dekapan alam yang ganas. Kepanikan mencapai
puncaknya, sementara di suatu tempat di dasar jurang, Iwan mengerang kesakitan,
menatap kegelapan dengan tatapan kosong, tidak menyadari bahwa takdirnya dan
rekan-rekannya akan segera ditulis dalam salah satu bab paling kelam dalam
sejarah pendakian Indonesia.
Kabar jatuhnya Iwan ke jurang
membuat suasana menjadi kacau balau. Kepanikan dan ketakutan mencengkeram erat
hati keenam pendaki yang tersisa. Malam itu, di tengah hutan belantara Ciremai,
mereka dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Di satu sisi, ada loyalitas
terhadap sang pemimpin yang kini terbaring tak berdaya. Di sisi lain, ada
insting untuk bertahan hidup yang berteriak-teriak di dalam diri mereka
masing-masing.
Perdebatan sengit pun terjadi.
Suara-suara saling bersahutan, sebagian ingin tetap bersama, sebagian lagi
berpendapat bahwa mereka harus segera mencari bantuan sebelum semuanya
terlambat. Udara dingin seolah semakin membekukan akal sehat. Dalam situasi
hidup dan mati seperti itu, logika seringkali kalah oleh rasa takut. Akhirnya,
sebuah keputusan yang kelak akan mereka sesali seumur hidup pun diambil. Mereka
akan berpisah.
Widi dan Fredi, dua orang yang
fisiknya dianggap masih paling kuat, ditugaskan untuk turun gunung. Misi mereka
adalah mencapai pos pendakian terdekat dan membawa tim penyelamat kembali.
Sebuah tugas yang terdengar heroik, namun juga sangat berisiko. Mereka harus
menembus kegelapan malam, melewati jalur asing yang berbahaya, dengan sisa
tenaga yang ada. Sementara itu, lima orang lainnya, Didi, Darso, Abdul Hatni,
Gembong, dan Iwan yang terluka parah, akan tetap tinggal. Mereka akan menunggu
di tempat itu, berharap bantuan akan segera datang.
Perpisahan itu terasa begitu
berat. Mereka saling berpelukan, memberikan kata-kata penguat, meskipun dalam
hati masing-masing diliputi keraguan. Saat Widi dan Fredi melangkahkan kaki
menuruni lereng yang gelap, mereka tidak tahu bahwa itulah kali terakhir mereka
melihat wajah kelima sahabatnya. Mereka juga tidak menyadari bahwa dengan
memisahkan diri, mereka telah melanggar salah satu pantangan terbesar dalam
dunia pendakian: jangan pernah meninggalkan rekanmu, apapun yang terjadi.
Laporan mengenai hilangnya tujuh
pendaki segera direspons oleh tim SAR gabungan. Puluhan personel dari berbagai
unsur, termasuk Basarnas, TNI, Polri, dan para relawan pencinta alam, segera
dikerahkan. Mereka mulai menyisir jalur-jalur pendakian Gunung Ciremai, berpacu
dengan waktu dan cuaca yang tidak menentu. Harapan untuk menemukan ketujuh
pendaki dalam keadaan selamat menjadi doa yang terus dipanjatkan.
Setelah dua hari pencarian yang
melelahkan, secercah harapan akhirnya muncul pada hari Senin, 25 Mei 2009. Tim
SAR berhasil menemukan dua orang dari rombongan yang hilang. Mereka adalah Widi
dan Fredi, dua orang yang ditugaskan untuk mencari bantuan. Keduanya ditemukan
di sebuah lokasi di antara pos Pesanggarahan dan Goa Walet, salah satu area
yang cukup dikenal di jalur pendakian. Kondisi mereka sangat memprihatinkan.
Widi dan Fredi tergeletak lemas
di tepi jalur. Wajah mereka pucat, tubuh mereka menggigil kedinginan, dan
tatapan mata mereka kosong. Salah satu dari mereka bahkan ditemukan dalam
keadaan tidak sadarkan diri, nyaris menyerah pada ganasnya alam. Kehabisan
makanan dan minuman, serta terus menerus berjalan tanpa arah selama dua hari,
telah menguras seluruh energi mereka. Tim medis segera memberikan pertolongan pertama
sebelum mengevakuasi keduanya turun ke pos Palutungan.
Penemuan Widi dan Fredi disambut
dengan kelegaan oleh semua pihak. Ini adalah titik terang di tengah kegelapan.
Informasi dari keduanya dianggap sangat krusial untuk menemukan lima rekan
mereka yang lain. Semua orang berharap, dengan petunjuk dari Widi dan Fredi,
tim SAR bisa segera menjangkau lokasi Iwan yang terluka dan empat pendaki
lainnya.
Namun, harapan itu ternyata hanya
sesaat. Di balik penemuan yang melegakan ini, sebuah misteri yang lebih besar
justru baru akan dimulai. Cerita yang akan dituturkan oleh Widi dan Fredi
nantinya bukanlah cerita tentang tersesat biasa, melainkan sebuah pengalaman di
luar nalar yang akan membuat bulu kuduk siapapun berdiri.
Setelah kondisi Widi dan Fredi mulai
stabil, mereka mulai menceritakan kronologi kejadian yang mereka alami. Cerita
mereka terdengar ganjil dan sulit diterima akal sehat. Mereka mengaku selama
perjalanan turun, mereka merasa seperti terus berputar-putar di tempat yang
sama. Seringkali mereka mendengar suara-suara aneh, seperti alunan gamelan Jawa
yang entah dari mana asalnya. Kadang, mereka melihat kilatan cahaya atau
bayangan-bayangan yang bergerak cepat di antara pepohonan.
Mereka merasa seperti sedang
"dibawa" atau "dipermainkan" oleh sesuatu yang tak kasat
mata. Jalur yang seharusnya menurun, terkadang terasa seperti menanjak. Waktu
terasa berjalan sangat lambat. Mereka merasa telah berjalan berhari-hari,
padahal kenyataannya baru dua hari. Pengalaman ini membuat mereka sangat ketakutan
dan kelelahan secara mental, hingga akhirnya mereka kolaps di tempat tim SAR
menemukan mereka.
Berbekal informasi lokasi
terakhir mereka berpisah, tim SAR dengan kekuatan penuh segera bergerak menuju
titik yang dimaksud. Mereka optimis bisa segera menemukan kelima pendaki
lainnya. Namun, setibanya di lokasi, sebuah kenyataan pahit menghantam mereka.
Tempat itu kosong melompong. Tidak ada seorang pun di sana. Tidak ada Iwan yang
terluka, tidak ada Didi, Darso, Hatni, maupun Gembong.
Tim SAR menyisir area di sekitar
lokasi dengan radius beberapa ratus meter, namun hasilnya tetap sama. Kelima
pendaki itu lenyap seolah ditelan bumi. Tidak ada jejak perkemahan, tidak ada
sisa-sisa makanan, tidak ada barang-barang yang tertinggal. Hanya ada
keheningan hutan yang mencekam. Kelegaan yang tadi sempat dirasakan, kini
berganti menjadi kebingungan dan kengerian. Kemana perginya kelima orang itu?
Misteri ini menjadi awal dari salah satu operasi pencarian paling sulit dan
paling misterius dalam sejarah Gunung Ciremai.
Hilangnya lima pendaki tanpa
jejak membuat operasi pencarian ditingkatkan ke skala yang lebih besar. Ratusan
personel tambahan dikerahkan, menyisir setiap lembah, punggungan, dan aliran
sungai di kawasan Gunung Ciremai. Foto kelima pendaki disebar luas, berharap
ada informasi dari pendaki lain atau warga sekitar. Namun, hari demi hari
berlalu, tidak ada satu pun petunjuk yang ditemukan.
Di tengah upaya pencarian yang
menguras tenaga, para relawan dan tim SAR mulai merasakan keanehan. Gunung
Ciremai seolah menunjukkan sisi lainnya yang lebih kelam. Banyak anggota tim
yang mengaku mendengar suara gamelan misterius di tengah malam, persis seperti
yang diceritakan oleh Widi dan Fredi. Suara itu terkadang terdengar dekat,
terkadang jauh, membuat konsentrasi buyar dan menimbulkan rasa takut. Ada pula
yang merasa seperti diikuti oleh sosok tak terlihat atau melihat bayangan hitam
melintas di kegelapan.
Blok Batu Lingga, sebuah area
yang dikenal sakral dan diyakini sebagai tempat pertapaan Nini Pelet, menjadi
salah satu fokus pencarian sekaligus pusat dari kejadian-kejadian mistis.
Beberapa relawan yang mencoba beristirahat di dekat area tersebut merasa tidak
nyaman, seolah ada yang mengawasi mereka dengan tatapan tidak suka. Aura di
sekitar Batu Lingga terasa sangat berat dan menekan, membuat banyak orang
enggan berlama-lama di sana.
Beberapa "orang pintar"
atau paranormal yang ikut membantu pun memberikan keterangan yang beragam,
namun intinya sama: kelima pendaki itu telah memasuki dimensi lain. Mereka
"disembunyikan" oleh penghuni gaib Ciremai karena telah berlaku tidak
sopan dengan memasuki wilayah mereka tanpa izin. Meskipun tim SAR tetap bekerja
secara rasional, cerita-cerita mistis ini tak ayal mempengaruhi psikologis para
pencari di lapangan.
Pencarian terus dilakukan dengan
semangat pantang menyerah. Namun, Ciremai seolah menyimpan rapat-rapat
rahasianya. Kelima pendaki itu tetap tidak ditemukan, seolah mereka telah
menjadi bagian dari misteri gunung itu sendiri. Setiap sudut yang dijelajahi
hanya menyisakan keheningan dan teka-teki.
Waktu terus berjalan tanpa ampun.
Hari berganti minggu, namun upaya pencarian kelima pendaki di Gunung Ciremai
tidak kunjung membuahkan hasil. Setiap jengkal tanah yang disisir, setiap
tebing yang dituruni, dan setiap gua yang dimasuki hanya berujung pada
kekecewaan. Tim SAR gabungan telah mengerahkan seluruh sumber daya dan
kemampuan terbaik mereka, namun kelima pemuda itu tetap menjadi misteri.
Sesuai dengan prosedur tetap
(protap) operasi pencarian dan penyelamatan, ada batas waktu yang ditentukan
untuk sebuah operasi. Setelah melewati batas waktu tersebut tanpa ada
tanda-tanda penemuan korban, maka dengan berat hati operasi harus dihentikan.
Keputusan sulit ini akhirnya diambil oleh komando operasi. Tim SAR ditarik mundur,
dan kelima pendaki, yaitu Iwan, Didi, Darso, Abdul Hatni, dan Gembong, secara
resmi dinyatakan hilang.
Kabar ini menjadi pukulan telak
bagi keluarga yang telah berhari-hari menunggu di posko dengan penuh harap.
Tangis mereka pecah, membasahi tanah di kaki Gunung Ciremai. Harapan untuk
melihat kembali putra, suami, dan saudara mereka kini telah pupus. Yang tersisa
hanyalah ketidakpastian yang menyiksa. Mereka tidak tahu apakah orang yang
mereka cintai masih hidup atau sudah tiada. Tidak ada jasad untuk ditangisi,
tidak ada makam untuk diziarahi.
Meskipun operasi resmi telah
ditutup, beberapa kelompok relawan dan keluarga masih terus melakukan pencarian
secara mandiri dengan harapan tipis. Namun, usaha mereka pun tak membuahkan
hasil. Gunung Ciremai tetap bungkam. Kelima pendaki itu kini telah menjadi
legenda, nama mereka terukir dalam daftar panjang misteri yang menyelimuti
gunung-gunung di Indonesia. Sebuah kisah tragis tentang perjalanan yang tak
pernah benar-benar usai.
Kisah hilangnya lima pendaki di
Gunung Ciremai menyisakan duka dan sebuah teka-teki abadi. Dari kacamata
rasional, mungkin mereka tersesat lebih jauh dan akhirnya meninggal karena
faktor alam. Namun, hilangnya mereka tanpa jejak sedikit pun membuka ruang bagi
spekulasi dari dimensi lain. Dalam ajaran Islam, keberadaan alam gaib dan para
penghuninya, seperti bangsa jin, adalah sebuah fakta yang harus diimani sebagai
bagian dari kebesaran Allah. Jin diciptakan dari api dan hidup di dimensi yang
berbeda, namun mereka bisa melihat manusia dan terkadang berinteraksi, terutama
untuk menggoda dan menyesatkan anak cucu Adam.
Peristiwa yang menimpa rombongan
Iwan bisa menjadi cerminan dari interaksi ini. Ketika manusia memasuki
"wilayah" mereka dengan sikap yang tidak pantas, seperti sombong, meremehkan,
atau melanggar adab, mereka membuka celah bagi gangguan dari makhluk gaib.
Pendakian yang dilakukan secara ilegal, tanpa izin dan doa, serta keputusan
untuk berpisah dan meninggalkan rekan yang terluka, dapat dianggap sebagai
bentuk kelalaian dan kesombongan yang menjadi pintu masuk bagi gangguan
tersebut. Mungkin saja mereka benar-benar "disesatkan" atau
"disembunyikan" hingga tak bisa kembali. Segala kemungkinan hanya Allah
yang Maha Mengetahui.
Tragedi ini adalah sebuah
tadabbur alam yang sangat mahal harganya. Pelajaran moral yang bisa dipetik
sangatlah jelas. Pertama, jangan pernah meremehkan alam dan selalu patuhi
aturan yang ada. Izin dan pendaftaran pendakian bukanlah sekadar formalitas,
melainkan bentuk tanggung jawab dan penghormatan. Kedua, utamakan keselamatan
dan kebersamaan di atas ego pribadi. Keputusan untuk berpisah dalam kondisi
darurat seringkali berujung fatal. Solidaritas adalah kunci untuk bertahan
hidup di alam liar.
Ketiga, dan yang paling penting,
adalah menjaga adab dan etika. Gunung bukanlah sekadar tumpukan batu dan tanah,
ia adalah bagian dari ekosistem ciptaan Allah yang memiliki "aturan
mainnya" sendiri. Jaga ucapan, jaga perbuatan, dan jangan lupa untuk
senantiasa berdoa memohon perlindungan kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Karena pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak memiliki
daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, semoga dapat menghibur dan menambah wawasan, segala kebenaran
detailnya, kita kembalikan kepada Allah, Tuhan pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar