Kisah Penciptaan Nabi Adam dari Tanah Liat
Kisah penciptaan Nabi Adam
bermula jauh sebelum kehadiran manusia di bumi. Awloh memberitahukan kepada
para malaikat tentang rencananya menciptakan khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Mendengar ini, para malaikat bertanya dengan rasa ingin tahu:
“Mengapa Engkau hendak
menciptakan makhluk di bumi yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih memujimu dan mensucikanmu?” Awloh pun
menjawab bahwa Dia mengetahui hikmah yang tidak mereka ketahui. Jawaban ini
menunjukkan bahwa penciptaan manusia memiliki tujuan mulia, meskipun manusia kelak
berpeluang berbuat salah.
Awloh kemudian memulai penciptaan
manusia pertama, Adam, dari tanah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Adam diciptakan
dari "tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi
bentuk". Menurut riwayat tafsir, tanah yang digunakan berasal dari
berbagai jenis dan warna di bumi — merah, putih, hitam, kuning — melambangkan
keragaman keturunannya kelak. Tanah tersebut dicampur air hingga menjadi lumpur
yang dibentuk (disebut sebagai hama’ masnun), lalu dibiarkan hingga kering
menjadi tanah liat yang berbunyi (shalshal) seperti tembikar.
Dalam tahap ini, tubuh jasad Adam
terbentuk tetapi belum bernyawa. Iblis, yang saat itu masih termasuk golongan
jin saleh, sempat memperhatikan tubuh Adam yang masih kosong. Ia memukulmukulnya
hingga mengeluarkan bunyi layaknya genteng kosong dan merasa senang mengetahui
manusia berongga dan lemah. Iblis berkata dalam hatinya, “Makhluk ini tampaknya
lemah. Jika aku berkuasa atasnya, pasti akan kusesatkan. Dan jika ia berkuasa
atasku, aku akan membangkang.” Pikiran jahat Iblis ini menjadi tanda awal
permusuhannya kepada Adam.
Setelah sempurna bentuk jasad
Adam, Awloh meniupkan ruh ciptaannya ke dalam diri Adam. Al-Qur’an menggambarkan
saat itu: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
ruh (ciptaan)ku, maka tunduklah kamu (wahai para malaikat) kepadanya dengan
bersujud.” Tiupan ruh ini menandai hidupnya Adam sebagai manusia. Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa ketika ruh mulai memasuki kepala Adam, ia bersin.
Malaikat mengajarinya mengucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi Awloh),
lalu Awloh menjawab, “YarhamukAwloh” (semoga Awloh merahmatimu). Itulah kalimat
pertama yang diucapkan manusia pertama, sebagai pujian kepada Tuhannya. Setelah
ruh memenuhi seluruh jasadnya, Adam pun bangkit hidup sebagai makhluk yang
sempurna.
Adam diciptakan Awloh dalam
bentuk yang paling baik. Nabi Muhammad bersabda bahwa Awloh menciptakan Adam
dengan rupa dan ukuran sempurna, tingginya mencapai 60 hasta (kurang lebih 27
meter). Semua keturunannya sejak itu terus menyusut ukurannya hingga menjadi
seperti manusia sekarang. Adam juga diberi kehormatan diciptakan langsung oleh
“tangan” Awloh (tentu dengan makna yang sesuai keagungannya). Ia adalah karya
ciptaan istimewa, sehingga Awloh memuliakannya dengan memerintahkan para
malaikat sujud menghormatinya.
Dengan penciptaan Nabi Adam dari
tanah liat, Awloh menunjukkan kuasanya menciptakan manusia pertama tanpa ayah
dan ibu. Al-Qur’an bahkan membandingkan penciptaan Isa dengan Adam:
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Awloh adalah seperti
(penciptaan) Adam. Awloh menciptakannya dari tanah, kemudian Awloh berfirman
‘Jadilah’, maka jadilah ia.” Artinya, jika Adam bisa diciptakan tanpa orang
tua, maka menciptakan Isa tanpa ayah bukan hal mustahil bagi Awloh.
Setelah Adam hidup, Awloh
menganugerahinya ilmu pengetahuan yang besar. Awloh “mengajarkan kepada Adam
nama-nama seluruhnya”, yaitu nama dan fungsi segala benda dan makhluk. Para
ulama tafsir menjelaskan bahwa “nama-nama” ini mencakup pengetahuan tentang
berbagai hal di alam semesta: nama-nama benda, hewan, tumbuhan, serta sifat dan
kegunaannya. Adam menerima ilmu itu langsung dari Awloh, sehingga ia mampu
menyebutkan nama-nama benda yang bahkan tidak diketahui para malaikat.
Pengajaran ini kemudian diikuti
dengan ujian kepada para malaikat. Awloh menampilkan berbagai benda di hadapan
malaikat dan berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda ini jika kamu
memang benar!” Para malaikat tidak mampu menyebutkannya dan mengakui
keterbatasan mereka: “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa
yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.”
Kemudian Awloh berfirman kepada
Adam untuk memberitahukan para malaikat nama-nama benda tersebut. Adam dengan
fasih menyebutkan satu per satu nama-nama benda itu. Melalui peristiwa ini,
para malaikat memahami hikmah penciptaan manusia: Adam diberkahi akal dan
pengetahuan yang bahkan melampaui malaikat, sehingga layak menjadi khalifah di
bumi. Awloh pun berfirman kepada para malaikat: "Bukankah sudah Kukatakan
padamu bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa
yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan."
Ini mengacu pada pengetahuan Awloh
tentang potensi besar yang ada pada manusia (seperti para nabi, orang saleh,
ilmu pengetahuan, dll) yang tidak terbayangkan oleh malaikat ketika mereka
khawatir manusia hanya akan berbuat kerusakan. Menurut Imam Ibnu Katsir,
perintah sujud kepada Adam sebenarnya terjadi setelah Adam menerima ilmu
tersebut, meskipun dalam susunan ayat di Surah Al-Baqarah, kisah pengajaran
ilmu disebutkan lebih dulu. Urutan penyebutan itu untuk menjawab pertanyaan
para malaikat tentang hikmah penciptaan manusia.
Setelah Adam diciptakan dan
dimuliakan dengan ilmu, Awloh memerintahkan para malaikat untuk sujud
menghormati Adam. Perintah ini tercantum dalam Al-Qur'an: "Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam,' maka
sujudlah mereka..." Sujud di sini bukanlah ibadah menyembah Adam,
melainkan sujud penghormatan dan pemuliaan kepada makhluk mulia yang Awloh
ciptakan.
Dalam syariat umat-umat
terdahulu, sujud semacam ini diperbolehkan sebagai tanda hormat (misalnya
saudara-saudara Nabi Yusuf pernah sujud hormat kepadanya). Namun, dalam syariat
Islam yang dibawa Nabi Muhammad, sujud penghormatan tidak lagi diperkenankan –
sujud hanya boleh ditujukan kepada Awloh semata. Para malaikat yang maksum dan
selalu taat, segera patuh pada perintah Awloh tersebut. Mereka semuanya
bersujud menghormati Nabi Adam. Bayangkanlah saat itu: ribuan malaikat tunduk
bersujud di hadapan Adam sebagai simbol penghormatan atas keistimewaannya di
sisi Awloh.
Bagi Adam sendiri, tentu ini
merupakan pengalaman menakjubkan – baru saja tercipta, ia menyaksikan
makhluk-makhluk langit berlutut menghormatinya atas perintah Awloh. Namun, di
antara lautan malaikat yang bersujud itu, terdapat satu makhluk yang enggan
tunduk. Dialah Iblis, yang sebelumnya dikenal sebagai sosok ahli ibadah dari
golongan jin yang berada di barisan para malaikat.
Ketika para malaikat sujud, Iblis
menolak perintah Awloh tersebut. Awloh berfirman, "Sujudlah kepada
Adam!" tetapi Iblis membangkang. Al-Qur'an mengabadikan sikap Iblis:
"...kecuali Iblis. Ia enggan dan menyombongkan diri, dan jadilah ia
termasuk golongan yang kafir (ingkar)." Inilah pertama kalinya ada makhluk
yang membangkang perintah Awloh secara langsung. Iblis menolak sujud bukan
karena tidak paham, tetapi karena sombong. Ia merasa dirinya lebih tinggi
daripada Adam.
Awloh menginterogasi Iblis atas
pembangkangannya: "Wahai Iblis, apa yang menghalangimu sujud kepada
makhluk yang telah Kuciptakan dengan tanganku sendiri?" Iblis menjawab
dengan angkuh bahwa ia lebih baik daripada Adam: "Aku tidak akan sujud
kepada manusia yang Engkau ciptakan dari tanah liat kering dari lumpur hitam
yang diberi bentuk." Iblis beralasan: "Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". Menurut logikanya, api lebih
mulia dan kuat daripada tanah, sehingga dirinya merasa lebih tinggi derajatnya.
Iblis juga menambahkan bahwa
dirinya lebih tua dan lebih kuat daripada Adam. Inilah logika sombong Iblis
yang keliru. Padahal kemuliaan di sisi Awloh tidak diukur dari asal-usul
materi, melainkan dari ketaatan dan takwa. Karena kesombongannya, Iblis berubah
status dari jin yang tadinya mulia menjadi kafir terhadap Awloh. Ia menolak
perintah Awloh secara sadar, sehingga pantas mendapat murka. Dalam sekejap,
lenyaplah seluruh kehormatan dan amal ibadah Iblis yang telah ia lakukan ribuan
tahun sebelumnya. Sikap takabur telah menjatuhkannya.
Rasulullah SAW mengingatkan,
"Siapa yang rendah hati karena Awloh, Awloh akan mengangkat derajatnya.
Dan siapa yang sombong, Awloh akan menghinakannya." Iblis adalah contoh
nyata bagaimana kesombongan mendatangkan kehinaan abadi. Sejak pembangkangan
itu, Iblis pun menjadi musuh Awloh dan musuh manusia pertama, Adam. Permusuhan
ini akan berlanjut sepanjang masa, seperti yang akan terlihat selanjutnya.
Akibat pembangkangannya, Iblis
harus menanggung murka Awloh. Awloh berfirman kepada Iblis: "Keluarlah
engkau dari (surga) ini, karena sesungguhnya engkau terkutuk. Dan sesungguhnya
kutukan (laknat) itu tetap menimpamu sampai hari kiamat." Iblis diusir dari
tempatnya yang mulia di langit, tidak lagi diperkenankan tinggal bersama para
malaikat. Ia mendapat predikat "ar-rajim" yang berarti terkutuk dan
terusir. Sejak saat itu, Iblis terus berada dalam kemurkaan Awloh hingga akhir
zaman.
Mendengar vonis yang amat berat
tersebut, Iblis tidak lantas memohon ampun atau bertaubat – kesombongannya
sudah mengeras. Yang ia minta justru penangguhan hukuman. Iblis berdoa (dengan
nada membangkang): "Wahai Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari manusia
dibangkitkan (Hari Kiamat)." Ia meminta agar jangan dibinasakan sekarang,
tetapi diberi umur panjang hingga akhir dunia. Awloh mengabulkan permintaan itu
dengan berfirman: "Baiklah, engkau termasuk yang diberi penangguhan,
sampai pada waktu yang telah ditentukan"
Awloh menunda hukuman akhir bagi
Iblis hingga hari kiamat, sebagai bagian dari rencana dan ujian bagi manusia.
Namun, penangguhan ini bukanlah rahmat untuk Iblis, melainkan kesempatan
baginya – yang justru akan menambah azabnya kelak – untuk membuktikan
kedurjanaannya. Alih-alih bersyukur atas penangguhan, Iblis menantang dengan
sumpah akan menyesatkan Adam dan anak-cucunya. Iblis berkata: "Karena
Engkau telah menghukumku sesat, aku pasti akan menghalangi mereka (anak-cucu
Adam) dari jalanmu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan,
belakang, kanan, dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat)."
Dalam surah lain disebutkan Iblis
bersumpah: "Demi kekuasaanmu (ya Awloh), akan aku sesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang terpilih di antara mereka." Iblis
dengan angkuh menyalahkan Awloh atas kesesatannya ("Engkau telah
menyesatkan aku"), padahal ia sendiri yang memilih untuk membangkang.
Awloh menjawab tantangan Iblis
itu dengan firman yang tegas, bahwa hamba-hambanya yang tulus tidak akan mampu
digoda Iblis, dan tempat Iblis kelak adalah neraka bersama orang-orang yang
mengikutinya: "Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu,
maka Jahannamlah balasan kalian semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup...
Sesungguhnya hamba-hambaku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka kecuali
orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang yang sesat. Dan sesungguhnya Jahannam
itu benar-benar tempat yang dijanjikan untuk mereka (pengikut-pengikut setan)
semuanya."
Sejak itu, Iblis resmi menjadi
setan terkutuk, musuh abadi bagi manusia, hingga hari kiamat nanti. Ia telah
bersumpah akan berusaha sekuat tenaga menggoda manusia agar tersesat, sebagai
pelampiasan dendam dan iri hatinya kepada Adam. Demikianlah, Iblis terusir dari
surga dan terputus dari rahmat Awloh. Sementara itu, Nabi Adam tetap berada
dalam kemuliaannya sebagai penghuni surga. Namun, kisah belum berakhir di sini.
Setelah terusir dari surga, Iblis menyimpan dendam mendalam terhadap Adam dan
Hawa. Ia bertekad untuk menggoda dan menyesatkan mereka agar tergelincir dari
ketaatan kepada Awloh. Iblis mulai merencanakan strateginya untuk merayu Adam
dan Hawa agar melanggar perintah Awloh. Ia mendekati mereka dengan berbagai
cara, mencoba memanfaatkan kelemahan-kelemahan mereka.
Komentar
Posting Komentar