Legenda Fumeripits: Asal-Usul Suku Asmat di Papua

 


Di masa silam, di pesisir selatan Pulau Papua, hiduplah seorang pria bernama Fumeripits. Ia dikenal sebagai manusia pertama yang menjejakkan kaki di tanah Asmat. Suatu ketika, Fumeripits berlayar sendirian dengan perahu sederhana melintasi lautan yang luas. Hingga suatu senja, badai besar datang mengamuk. Gelombang raksasa menghantam perahunya hingga hancur, membuat tubuhnya terlempar ke laut.

Dalam kegelapan malam, Fumeripits hampir tenggelam. Di tengah badai, seekor burung besar misterius muncul dan mencengkeramnya dengan hati-hati, lalu membawanya terbang rendah di atas gelombang. Saat fajar merekah, badai mereda dan Fumeripits terdampar di pantai yang asing. Burung yang menyelamatkannya menyentuh dahinya seolah memberi kehidupan kembali, lalu menghilang di atas pepohonan bakau.

Setelah tersadar, Fumeripits menemukan pecahan lunas perahunya dan dayung kayu yang terdampar di pantai. Dengan sisa perbekalan yang ada, ia berjalan menuju batas antara pantai dan hutan, menemukan aliran sungai kecil untuk minum dan membasuh luka-lukanya. Ia memutuskan untuk membangun tempat berlindung, sebuah rumah besar seperti balai tempat berkumpul.

Dengan pisau batunya, Fumeripits menebang pohon kecil, menandai tanah, dan mendirikan tiang-tiang kayu serta dinding dari anyaman daun sagu. Meski bekerja seorang diri, alam seolah membantunya. Bangunan itu akhirnya berdiri tegak sebagai rumah jeu pertama di tanah Asmat.

Fumeripits tinggal di sana, menghabiskan malam dengan api unggun kecil dan suara alam yang menemani tidurnya. Di siang hari, ia berburu dan mengumpulkan makanan, mulai memahami ritme alam sekitarnya, serta menemukan sumber-sumber pangan yang tersedia. Begitulah, Fumeripits memulai kehidupannya di tanah Asmat, menjadi awal mula terbentuknya Suku Asmat.

 

Namun seiring waktu, kesepian mulai menyergap hati Fumeripits. Setiap petang, setelah usahanya mencari makan selesai, ia duduk di tepi pantai menatap matahari terbenam. Jingga keemasan yang memantul di ombak mengingatkannya pada luasnya dunia dan kesendiriannya. Tak ada kawan untuk berbagi cerita atau sekadar mendengarkan suaranya. Ia sering berteriak memanggil siapa saja di hutan: "Hallooo! Adakah orang di sana?" Namun teriakannya hanya bergema di antara pepohonan bakau tanpa jawaban. Kesunyian hanya dibalas suara burung jauh atau lolongan aneh dari rimba, tetapi tak pernah suara manusia.

Untuk mengusir rasa sepi, Fumeripits mulai mengukir pola pada dinding kayu rumahnya, menggambar bentuk makhluk hidup yang pernah dilihatnya, termasuk burung besar penolongnya di salah satu tiang rumah sebagai tanda terima kasih. Kadang, di sore hari, ia menari sendirian di pantai, terinspirasi oleh debur ombak dan angin laut. Pasir menjadi lantainya, dan langit luas atapnya. Ia melompat dan berputar, menepuk-nepuk dadanya atau pahanya menciptakan irama sederhana, seolah melakukan upacara sakral. Namun ketika tarian usai dan malam tiba, kesunyian kembali menyergap hatinya.

Malam demi malam ia memandangi langit penuh bintang melalui celah atap rumah jeunya, mengenang cerita lama tentang roh-roh leluhur dan makhluk halus penunggu hutan. Ia bertanya-tanya, adakah roh lain di tempat ini yang menemaninya tanpa ia ketahui? Barangkali burung misterius yang menyelamatkannya adalah jelmaan roh penunggu laut selatan. Fumeripits sering berbicara sendiri, seakan bicara pada roh tak kasatmata yang mungkin mendengar. "Wahai roh alam, terima kasih atas hidupku. Aku mohon berkatilah aku di tanah asing ini," ujarnya pada suatu malam. Angin malam berembus pelan, seolah menjawab doanya.

Namun doa dan tarian hanya sedikit mengurangi kesepian. Lambat laun, Fumeripits merasa tak sanggup hidup sendirian. Ia merindukan sosok lain, seorang teman untuk bercakap dan tertawa bersama. Pada suatu fajar, ketika mentari baru merambati ufuk, Fumeripits berdiri di ambang pintu rumah jeunya, menatap hutan dan pantai yang tetap sepi. Saat itu, muncul tekad dalam hatinya. Bila tak ada manusia lain di dunia ini selain dirinya, maka ia akan berupaya. Bagaimanapun caranya, ia tak boleh menyerah pada kesendirian. Dengan keyakinan itu, Fumeripits mulai menyusun rencana yang kelak mengukir sejarah asal-mula Suku Asmat.

 

Dengan semangat yang menyala, Fumeripits mulai melaksanakan tekadnya untuk menghadirkan kawan di dunia ini. Ia menyadari bahwa satu-satunya bahan yang melimpah adalah kayu dari pepohonan. Terlintas dalam benaknya gagasan berani: bisa jadi roh-roh baik dapat dipanggil untuk mendiami sosok-sosok kayu yang ia ciptakan.

Fumeripits pun mengambil kapak batunya dan melangkah ke hutan untuk mencari pohon yang tepat. Di tengah hutan, ia menemukan pohon besar yang menjulang megah. Dengan hati-hati, ia mulai menebang pohon itu, memohon izin kepada roh pohon untuk meminjam tubuhnya. Setelah upaya panjang dan keringat yang membanjiri tubuhnya, pohon besar itu akhirnya rubuh.

Fumeripits memotong batang pohon menjadi beberapa bagian besar dan mulai mengukirnya menjadi patung-patung manusia. Satu per satu sosok muncul dari serpihan kayu: seorang pria tegap dengan ekspresi bersahabat, seorang wanita dengan wajah lembut tersenyum, dan beberapa sosok lainnya dengan pose yang berbeda-beda. Ia mencurahkan seluruh keterampilannya, memperhatikan setiap detail, mulai dari ukiran wajah hingga pola hiasan di tubuh patung.

Hari-hari berlalu saat Fumeripits tenggelam dalam pekerjaannya. Setiap pagi ia bangun dengan tujuan untuk menyelesaikan patung-patung tersebut. Ia berbicara pada patung yang sedang diukirnya, memperkenalkan diri atau bercerita tentang impian dan harapannya. Setelah berminggu-minggu bekerja tanpa kenal lelah, Fumeripits menuntaskan pembuatan tujuh patung manusia. Ia mengangkat dan memindahkan mereka ke dalam rumah jeunya satu per satu, menempatkan patung-patung kayu tersebut berkeliling di sekitarnya.

Malam itu, di bawah keremangan cahaya obor, Fumeripits menatap hasil karyanya dengan haru. Patung-patung itu tampak begitu hidup dalam bayang-bayang cahaya api, namun tetap tak bergerak ataupun bersuara. Ia duduk di tengah-tengah mereka, mencoba berbicara seolah mereka dapat mendengarnya. Namun, hanya keheningan yang menjawab. Fumeripits mencoba berpura-pura seakan patung-patung itu hidup, membagi ikan bakar yang ia masak malam itu ke beberapa piring daun dan meletakkannya di hadapan patung-patung.

Pada akhirnya, Fumeripits sadar bahwa patung-patungnya tetaplah patung. Malam itu ia nyaris putus asa, duduk bersila di antara patung-patung buatannya, menundukkan kepala. Dalam hati, ia memohon pada kekuatan gaib: "Wahai roh-roh alam, tolonglah aku. Aku telah membuat wujud mereka, tapi aku tak mampu memberi mereka nyawa. Apa yang harus kulakukan?" Keheningan menyelimuti malam, hanya suara ombak dan nyanyian serangga malam yang terdengar.

 

Tiba-tiba, entah berapa lama telah berlalu, Fumeripits merasakan sesuatu yang aneh di sekelilingnya. Melalui sela-sela matanya yang sedikit terbuka, ia melihat sebuah gerakan. Patung pria tegap di sebelah kanannya tampak bergoyang. Sekilas Fumeripits mengira lantai rumah bergetar karena hentakan drumnya, tetapi kemudian patung itu miring ke depan lalu kembali tegak, seakan baru saja menggeser berat badannya sendiri!

Hati Fumeripits melompat, namun ia terus menabuh, tak berani berhenti. Kini ia membuka matanya sambil tetap menjaga irama. Dilihatnya pemandangan menakjubkan: satu per satu patung-patung kayu karyanya mulai bergerak perlahan. Jari-jari tangan mereka yang semula diam terkulai kini tampak menggeliat. Salah satu patung wanita menggerakkan kepalanya sedikit, seolah menoleh. Dan patung yang berjongkok dengan siku di lutut, terlihat mengangkat sikunya perlahan dari posisi semula.

"Hidup... mereka hidup!" teriak hati kecil Fumeripits, namun ia menahan diri untuk tidak menghentikan tabuhan. Ia justru menabuh semakin semangat, kini disertai nyanyian yang meninggi penuh sukacita. Patung-patung itu bergerak semakin jelas. Patung yang tadinya berjongkok kini berhasil berdiri, sendi-sendinya berbunyi *krek* halus seolah tulang baru tersusun. Awalnya gerakan mereka kaku dan tersentak-sentak seperti boneka, namun perlahan berubah menjadi lebih lancar. Lutut mereka bergetar berirama, mengikuti tempo drum Fumeripits. Mereka mulai menari!

Patung yang telah menjadi manusia itu menggerakkan kaki dan tangan mereka, menghentakkan kaki ke lantai, melompat kecil dengan tawa kegembiraan yang mulai terdengar. Ya, kini bukan hanya bunyi drum yang menggema di rumah jeu, tapi juga suara hidup: tawa, sorak, dan teriakan sukacita.

 

Saat itulah, airmata menetes di pipi Fumeripits. Ia terus menabuh tifa sambil tertawa dan menangis sekaligus, melihat para patung ciptaannya kini menari hidup di hadapannya. Beberapa di antara mereka merentangkan tangan, mengajak Fumeripits ikut menari bersama. Fumeripits pun meletakkan tifa sejenak dan bangkit berdiri. Irama drum tetap mengalun—aneh, tifa itu terus berbunyi sendiri seakan tangan-tangan tak kasatmata roh alam masih menabuhnya, memberi waktu Fumeripits untuk bergabung menari. Ia dan keenam manusia baru itu berpandangan dengan wajah berseri. Kemudian mereka menari membentuk lingkaran, melompat dengan lutut tertekuk dan terayun, melaksanakan tarian lutut bergetar yang tadi hanya hadir dalam mimpi. Suara tifa, derap kaki, dan sorak tawa berpadu menjadi satu harmoni kebahagiaan.

Ketika tarian mereda, Fumeripits berhenti dan tifa pun perlahan sunyi. Saat itu, matahari telah condong ke barat, menyemburatkan cahaya senja ke dalam rumah melalui pintu yang terbuka. Fumeripits memandangi orang-orang yang kini berdiri di sekitarnya. Mereka bukan lagi patung tak bernyawa, melainkan manusia hidup. Kulit mereka kecokelatan dan hangat, otot-otot mereka nyata, mata mereka bersinar dengan kesadaran. Ada tiga laki-laki dan tiga perempuan, semuanya tampak dewasa muda kecuali satu yang berpostur lebih tua dengan rambut sedikit memutih yang tadi diukir Fumeripits sebagai tetua. Mereka menatap Fumeripits dengan sorot mata penuh rasa terima kasih dan kasih sayang.

Salah satu dari mereka, perempuan dengan senyum lembut yang tadi diukir Fumeripits, melangkah maju perlahan. Ia menyentuh tangan Fumeripits dengan jemarinya yang dahulu kayu namun kini hangat berdarah. "Terima kasih..." bisiknya lirih, suara pertamanya keluar bagaikan angin surga. Yang lain pun mulai berbicara, mencoba mengeluarkan kata-kata yang barangkali entah bagaimana sudah mereka kenali: "Fumeripits," panggil seorang lelaki tegap sambil menepuk dada Fumeripits pelan tanda hormat. "Bapa..." kata yang lain dengan terbata, mengakui Fumeripits sebagai bapak atau leluhur mereka.

Fumeripits merasa hatinya hampir meledak oleh bahagia. Ia memeluk mereka satu per satu, tertawa dan menangis sekaligus. Seumur hidupnya ia tak pernah merasakan sukacita sedemikian besar. Rumah jeunya kini benar-benar hidup; dipenuhi manusia-manusia lain yang bisa berbicara, bergerak, dan tertawa bersamanya. Kesunyian yang dulu membelenggu telah sirna, berganti dengan kehangatan suara percakapan dan senda gurau.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Fumeripits tidak tidur ditemani kesepian. Di tengah lingkaran enam orang barunya, ia duduk di sekitar api yang kembali menyala, berbagi cerita tentang bagaimana ia terdampar dan mimpi-mimpinya membangun kehidupan bersama. Mereka menyimak dengan takjub, seakan mendengar kisah dewa pencipta. Di luar, bulan muncul perlahan, memandang dari langit seolah turut gembira menyaksikan permulaan baru bagi umat manusia di tanah Asmat.

 

Sejak patung-patung kayu menjadi manusia, kehidupan baru dimulai di tanah Asmat. Fumeripits tidak lagi sendiri; enam anggota komunitas kini menemaninya dan menyebutnya Bapa Fumeripits. Setiap pagi, rumah jeu dipenuhi suara percakapan, canda tawa, dan rencana-rencana hari itu. Fumeripits membagi tugas dan mengajarkan keterampilan kepada mereka: membuat tombak dan panah untuk berburu, menangkap ikan dengan perangkap anyaman, serta mengenali dan mengolah tumbuhan pangan seperti sagu.

Para perempuan cekatan mengolah sagu menjadi tepung, sementara para lelaki berburu dan menangkap ikan. Setelah kebutuhan pangan terpenuhi, mereka memperluas pemukiman dengan membangun pondok-pondok kecil di sekitar rumah jeu. Pada malam hari, mereka berkumpul di sekitar api unggun, mendengarkan kisah Fumeripits dan merayakan kehidupan yang dimiliki.

Namun, kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Suatu hari, saat dua pemuda memeriksa perangkap ikan, seekor buaya besar menyerang salah satu dari mereka. Jeritan kesakitan menggema di sepanjang sungai. Fumeripits segera datang membantu, menusuk punggung buaya dengan tombak hingga buaya itu mundur. Meskipun mereka berhasil menyelamatkan pemuda yang terluka, luka itu terlalu parah dan ia akhirnya meninggal dalam pangkuan Fumeripits. Kehidupan di tanah Asmat terus berjalan, penuh tantangan dan kebersamaan.

Fumeripits mendekap tubuh pemuda tersebut erat-erat, air matanya jatuh membasahi wajah sang anak yang kini tak bernyawa. Jerit tangis pecah dari kelompok kecil itu. Para perempuan meratap, sementara para lelaki mengepalkan tangan dengan amarah dan kesedihan. Mereka menggotong tubuh sahabat mereka kembali ke desa dengan langkah gontai, diiringi isak tangis tak tertahankan.

Di rumah jeu, Fumeripits membaringkan jasad pemuda tersebut di tengah ruangan. Wajahnya tenang seperti tidur, tapi dingin dan kaku. Dalam duka mendalam, Fumeripits termenung, hatinya hancur. Malam menjelang, dan enam orang Asmat yang tersisa duduk mengelilingi jenazah dengan wajah muram. Tangis pelan terdengar sesekali. Fumeripits tahu, ia harus memimpin mereka melewati saat sulit ini. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Tangisan kita menunjukkan cinta kita padanya. Tapi kita harus mengantar arwahnya dengan terhormat."

Pertama-tama, mereka membersihkan jasad pemuda itu dengan air sungai, lalu mendandaninya dengan hiasan terbaik. Fumeripits menyiapkan sepotong kayu besar untuk membuat patung peringatan. Ia mulai memahat wajah pemuda itu pada kayu, menuangkan seluruh rasa sayang dan hormatnya dalam ukiran. Kawan-kawannya bergantian membantunya menghaluskan patung tersebut hingga selesai menjelang tengah malam.

Kemudian, di hadapan jenazah dan patung peringatan yang telah jadi, mereka menyalakan api unggun. Fumeripits mengambil tifa keramatnya dan mulai menabuh dalam irama lambat dan dalam, berbeda dari irama gembira yang biasa mereka mainkan. Bum... bum... bum... suara tifa terdengar seperti detak duka bumi. Yang lain melantunkan nyanyian ratapan mengiringi tabuhan. Malam itu, di dalam rumah jeu, berlangsunglah upacara perpisahan pertama suku Asmat dengan arwah salah satu anggotanya.

 

Di tengah tabuhan dan nyanyian, Fumeripits berbisik lirih di samping jenazah: "Wahai roh, engkau yang pertama pergi dari antara kami, berjalanlah dengan tenang menuju alam para arwah leluhur." Ia menatap patung kayu peringatan yang dibuatnya dan melanjutkan, "Kami buatkan engkau ini sebagai tanda bahwa kami takkan melupakanmu. Semangatmu akan hidup bersama kami di sini." Anggota lain mengikuti, mengucapkan kata-kata perpisahan mereka masing-masing.

Menjelang fajar, mereka membawa jasad sang pemuda ke luar rumah, memilih sebatang pohon besar di pinggir hutan untuk menjadi tempat peristirahatan terakhir. Jasad itu diletakkan di atas platform tinggi, jauh dari jangkauan binatang buas. Di sampingnya, mereka tegakkan patung peringatan kayu tadi, menghadap ke arah timur. Sinar matahari pagi pertama menyinari wajah patung itu, memberi kesan hidup pada ukirannya sejenak.

Tiba-tiba, suara kepak sayap memecahkan keheningan pagi. Seekor burung besar terbang melintas tepat di atas platform, melingkari tempat persemayaman jenazah sekali sambil mengeluarkan pekikan panjang, lalu terbang tinggi ke langit timur. Fumeripits tersenyum tipis di tengah air matanya. "Lihatlah, roh alam menjemputnya pulang," ujarnya pelan.

Pagi itu, meski dirundung duka, orang-orang Asmat merasakan ketenangan. Mereka telah melepas kepergian salah satu dari mereka dengan hormat dan kasih sayang. Itulah pertama kalinya mereka memahami siklus kehidupan dan kematian. Fumeripits mengumpulkan semua di halaman rumah jeu dan berkata, "Hidup manusia ada awal dan akhirnya. Tapi arwah kita tidaklah hilang. Selama kita mengingat dan menghormati mereka, para leluhur akan selalu bersama kita." Keenam orang itu mengangguk, menyeka air mata mereka. Sejak saat itu, mereka menghormati roh nenek moyang, karena salah satu dari mereka kini telah menjadi leluhur pertama yang menjaga mereka dari alam roh.

 

Fumeripits bersumpah bahwa tragedi itu tidak boleh terulang tanpa perlawanan. Ia mengajak dua pemuda untuk menyusuri sungai mencari jejak buaya ganas tersebut. Dua hari dua malam mereka berusaha, hingga suatu subuh mereka menemukan buaya besar itu berjemur di kubangan sunyi. Dengan kecerdikan dan keberanian, mereka memasang jebakan dan menyerang secara mendadak. Pertarungan sengit terjadi, tombak-tombak menghujam sisik tebal, dan ekor buaya mencambuk liar. Akhirnya, Fumeripits berhasil menusuk jantung sang buaya dengan tombaknya. Binatang itu menggelepar sekarat sebelum akhirnya diam tak bergerak.

Para pemuda bersorak lega meski terluka ringan. Mereka menyeret bangkai buaya tersebut ke dekat pemukiman. Tulang belulang dan tengkorak buaya itu dijadikan tanda peringatan di dekat pohon tempat sahabat mereka dimakamkan, sebagai simbol bahwa kematiannya telah dibalas dan rohnya bisa tenang.

Melalui duka dan perjuangan itu, orang-orang Asmat semakin terikat. Mereka belajar bahwa keberanian dan kebersamaan adalah kunci menghadapi bahaya, dan menjaga ingatan akan leluhur memberi kekuatan batin. Nilai-nilai itulah yang menjadi warisan turun-temurun: keberanian menghadapi ancaman, kebersamaan dalam suka duka, dan penghormatan terhadap arwah para pendahulu. Komunitas kecil Asmat kian kokoh, siap melanjutkan hidup dengan hikmat dari pengalaman pahit dan manis yang telah mereka alami.

 

Tahun demi tahun berlalu, dan komunitas Asmat berkembang. Keenam manusia yang diciptakan Fumeripits berpasangan dan melahirkan anak-anak. Suara tangis bayi pertama pecah di suatu subuh yang cerah, disambut sorak sorai seluruh kampung kecil mereka. Fumeripits menimang bayi mungil itu dengan haru, menyadari bahwa anak tersebut adalah generasi Asmat pertama yang lahir secara alami. Kampung kecil itu terus berkembang, dari tujuh orang menjadi puluhan, dan pondok-pondok baru dibangun untuk keluarga-keluarga muda. Kehidupan mereka menjadi semakin mapan.

Fumeripits sendiri telah menua. Rambutnya yang dahulu hitam pekat kini memutih, tubuhnya tidak lagi sekuat dulu meski sorot matanya tetap tajam dan penuh kasih. Ia disegani dan dicintai oleh anggota suku sebagai leluhur hidup. Anak-anak kecil sering duduk melingkar di kakinya pada malam hari, mendengarkan dongeng tentang masa lalu. Fumeripits menanamkan kebanggaan pada asal-usul mereka dan pentingnya bersyukur kepada alam.

Di bawah bimbingan Fumeripits, berbagai tradisi mulai terbentuk. Setiap kali ada anggota suku yang meninggal dunia, mereka mengukir patung peringatan yang ditempatkan di rumah jeu selama upacara pengantaran roh, di mana tifa keramat Fumeripits ditabuh sepanjang malam dan tarian ritual digelar untuk menghormati arwah. Esoknya, patung itu ditempatkan di tepi desa atau dekat makam sebagai penjaga arwah leluhur. Fumeripits mengingatkan, "Ukiran kayu adalah cara kita mengingat, cara kita mengundang para leluhur agar selalu memberkati." Keahlian memahat diwariskan kepada generasi muda, dengan beberapa pemuda terampil dipilih dan diajari oleh Fumeripits sendiri untuk menjadi wowipitsj, para ahli pahat penerus karyanya.

Selain dalam kematian, ukiran dan tarian juga mewarnai saat-saat suka cita. Ketika panen sagu berlimpah atau seorang anak mencapai usia dewasa, suku Asmat mengadakan pesta di rumah jeu. Mereka menggantung ukiran kayu baru, menabuh tifa, dan menari semalam suntuk. Pada dinding rumah jeu itu, patung leluhur berjajar rapi, seakan ikut menyaksikan dan merestui setiap perayaan. Orang Asmat percaya bahwa roh leluhur hadir melalui patung-patung tersebut, menari bersama mereka dalam setiap dentuman drum.

 

Tibalah suatu hari ketika Fumeripits merasakan hidupnya mencapai pengujung. Usianya sangat tua, tubuhnya semakin lemah, dan firasat datang bahwa waktunya bersama anak-cucunya tak akan lama lagi. Ia mengumpulkan seluruh anggota suku di rumah jeu untuk memberikan pesan terakhir. Di senja yang temaram, generasi Asmat berkumpul mengelilinginya dalam keheningan khidmat. Dengan suara lirih, Fumeripits berbicara, "Aku bangga melihat kalian tumbuh dari hanya segelintir orang menjadi sebuah suku yang kuat dan bersatu. Ingatlah selalu asal usul kita. Hormatilah pohon-pohon, sungai, dan laut seperti kalian menghormati ibu dan bapak kalian. Jangan lupakan roh para leluhur."

Fumeripits melanjutkan, "Aku akan segera bergabung dengan para leluhur. Jangan takut atau bersedih, sebab itulah hukum alam. Bila kalian merindukanku, tengoklah ukiran-ukiran di sekitar kalian, tabuhlah tifa, dan menarilah. Rohku akan hadir di tengah-tengah kalian." Malam itu, di tengah keluarga besarnya, Fumeripits menghembuskan napas terakhir dengan tenang. Kepergian Fumeripits disambut tangis dan peluk erat seluruh suku.

Keesokan harinya, suku Asmat membuat upacara penghormatan yang agung untuk Fumeripits. Mereka mengukir sebuah patung Fumeripits dengan ukuran lebih tinggi dari yang lain, melambangkan kebesaran jasanya. Patung itu ditempatkan di rumah jeu selama upacara. Tabuhan tifa mengiringi tarian perpisahan, dan seluruh suku memberikan penghormatan terakhir. Setelah itu, patung Fumeripits yang megah didirikan di tempat terhormat di tepi desa, menghadap hutan dan sungai. Di kakinya ditaruh tifa keramat peninggalannya. Malamnya, beberapa orang melihat sosok seekor burung besar bertengger di atas patung tersebut sebentar, lalu terbang menembus cahaya bintang. Mereka percaya itu adalah pertanda roh Fumeripits telah terbang bebas, menyatu dengan alam dan leluhur.

Sejak hari itu, suku Asmat hidup berpegang pada nilai-nilai yang diwariskan Fumeripits. Mereka menamai kampung mereka dengan nama-nama yang bermakna pohon, sungai, dan laut sebagai penghormatan pada alam. Mereka terus mengukir patung dan tiang-tiang bis yang menjulang tinggi untuk mengenang arwah para pahlawan dan leluhur, menempatkannya di depan rumah jeu sebagai penjaga gaib. Setiap ukiran, setiap tarian, dan setiap tabuhan drum mengingatkan mereka bahwa manusia Asmat tercipta dari keharmonisan alam dan roh.

Demikianlah kisah legenda Fumeripits, manusia pertama suku Asmat, sang pemburu yang kesepian hingga menciptakan kehidupan dari kayu. Kisah ini diwariskan turun-temurun dalam nyanyian dan tarian suku Asmat, agar generasi muda selalu ingat asal-usul mereka. Dari Fumeripits, mereka belajar tentang keberanian, kerja keras, cinta kasih pada sesama, juga penghormatan kepada leluhur dan alam semesta. Hingga kini, setiap kali terdengar tabuhan tifa menggetarkan malam di tanah Asmat dan para penari melenggok di bawah sinar bulan, roh Fumeripits diyakini menari bersama mereka, bangga menyaksikan anak-cucunya melanjutkan warisan budayanya di bumi yang dicintainya.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Awloh, Azza Wajallah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis