Kisah Legenda Karna
Di masa lampau, tersebutlah
seorang putri cantik bernama Pritha, yang kemudian dikenal sebagai Dewi Kunti,
putri dari Raja Surasena yang diadopsi oleh Raja Kuntibhoja. Ketika masih
sangat belia, Kunti dengan tulus melayani seorang resi agung bernama Durwasa
yang sedang berkunjung ke istana. Sang Resi, yang terkenal mudah marah namun
juga murah hati jika dilayani dengan baik, merasa sangat puas dengan pelayanan
Kunti. Sebagai hadiah atas baktinya, Resi Durwasa menganugerahkan sebuah mantra
suci kepada Kunti. Mantra ini memiliki kekuatan luar biasa: Kunti bisa
memanggil dewa mana saja yang ia inginkan, dan dewa tersebut akan datang untuk
memberinya seorang putra yang memiliki sifat dan kekuatan sang dewa.
Setelah Resi Durwasa pergi, Kunti
yang masih muda dan penuh rasa ingin tahu, merasa penasaran dengan kekuatan
mantra tersebut. Suatu pagi, ketika fajar menyingsing dan bola api raksasa
mulai memancarkan sinarnya yang keemasan, Kunti berdiri di tepi sungai.
Terpesona oleh keagungan Dewa Surya, Sang Penguasa Siang Hari, Kunti tanpa
berpikir panjang mencoba mengucapkan mantra yang diberikan Resi Durwasa,
menujukannya kepada Dewa Surya. Seketika, Dewa Surya muncul di hadapannya dalam
wujud yang gemilang, cahayanya menyilaukan.
Kunti terkejut dan sedikit takut
dengan kehadiran sang dewa. Ia mencoba menjelaskan bahwa ia hanya mencoba
mantra itu karena penasaran. Namun, kekuatan mantra tidak bisa ditarik kembali.
Dewa Surya, terikat oleh kekuatan mantra dan kehendak ilahi, memberkati Kunti.
Tak lama kemudian, melalui kekuatan sang dewa, Kunti melahirkan seorang putra
yang luar biasa tampan dan gagah. Anak itu terlahir tidak seperti bayi biasa;
ia terlahir dengan anugerah ilahi berupa sepasang anting-anting emas (Kundala)
yang berkilauan di telinganya dan sebuah baju zirah (Kawaca) yang menempel erat
di dadanya, membuatnya kebal terhadap segala macam senjata.
Kelahiran putra ini membawa
kebahagiaan sekaligus kecemasan yang mendalam bagi Kunti. Ia sangat menyayangi
bayi mungil itu, namun ia juga menyadari posisinya sebagai seorang putri yang
belum menikah. Kelahiran seorang anak di luar ikatan pernikahan pada masa itu
dianggap sebagai aib besar yang akan mencoreng nama baik dirinya dan
keluarganya. Rasa takut akan penghakiman masyarakat dan murka ayahnya
membuatnya dilanda kebingungan dan kesedihan yang luar biasa.
Di tengah dilema antara kasih
sayang seorang ibu dan ketakutan akan status sosialnya, Kunti harus membuat
keputusan yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa
membesarkan anak ini secara terbuka tanpa menimbulkan skandal besar. Rahasia
kelahirannya harus tetap terjaga demi kehormatan kerajaan dan masa depannya
sendiri. Keputusan berat pun diambil, sebuah keputusan yang akan menghantui
Kunti sepanjang hidupnya dan membentuk takdir sang putra yang baru lahir.
Dengan hati yang hancur
berkeping-keping dan air mata yang terus mengalir, Kunti memandang wajah
putranya yang tertidur lelap. Baju zirah dan anting-anting emasnya berkilauan,
menandakan asal-usul ilahinya. Kunti memeluknya erat untuk terakhir kali,
membisikkan doa dan harapan agar putranya selamat dan kelak menjadi orang
besar. Ia kemudian dengan sangat hati-hati menempatkan bayi mungil itu ke dalam
sebuah keranjang rotan yang telah dialasi kain lembut. Keranjang itu dihias
seadanya, dengan harapan agar terlihat seperti persembahan suci.
Pada malam hari yang sunyi, Kunti
membawa keranjang berisi putranya itu ke tepi Sungai Aswa (dalam beberapa versi
lain disebut Sungai Gangga atau Yamuna). Arus sungai mengalir cukup deras.
Dengan berat hati yang tak terperi, Kunti melepaskan keranjang itu ke aliran
sungai. Ia berdoa kepada Dewa Surya dan dewa-dewi lainnya untuk melindungi
putranya dalam perjalanannya yang tak pasti. Ia terus memandangi keranjang itu
hingga hilang ditelan kegelapan malam dan kelokan sungai, membawa serta separuh
jiwanya.
Keranjang itu terapung mengikuti
arus sungai, membawa sang bayi ilahi melewati desa-desa dan hutan-hutan. Hingga
akhirnya, takdir membawanya ke sebuah tempat bernama Campapuri, dekat wilayah
Kerajaan Angga. Di sanalah Adirata, seorang kusir setia yang bekerja untuk Raja
Dretarastra dari Hastinapura, sedang mandi bersama istrinya, Radha. Mereka
adalah pasangan suami istri yang baik hati namun belum dikaruniai keturunan,
sesuatu yang selalu mereka doakan. Tiba-tiba, perhatian Adirata tertuju pada
sebuah keranjang yang terapung mendekat.
Adirata mengambil keranjang itu
dan membawanya ke tepi. Betapa terkejut dan bahagianya ia dan Radha ketika
menemukan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan di dalamnya, lengkap dengan
anting-anting dan baju zirah emas yang menempel di tubuhnya. Mereka merasa doa
mereka telah dijawab oleh para dewa. Tanpa ragu, Adirata dan Radha memutuskan
untuk mengadopsi bayi itu sebagai anak mereka sendiri. Mereka membawanya pulang
dengan sukacita yang meluap.
Bayi itu diberi nama Vasusena,
yang berarti "lahir dengan kekayaan" (merujuk pada Kawaca Kundala).
Namun, karena dibesarkan oleh Radha, ia lebih sering dipanggil Radheya. Adirata
dan Radha mencurahkan seluruh kasih sayang mereka kepada Radheya,
membesarkannya seperti anak kandung sendiri. Meskipun hidup sederhana sebagai
keluarga kusir, Radheya tumbuh sehat, kuat, dan menunjukkan tanda-tanda
kecerdasan serta bakat luar biasa, terutama dalam hal bela diri dan
keprajuritan, warisan dari ayah ilahinya, Dewa Surya.
Sejak usia dini, Radheya, atau
yang kelak lebih dikenal sebagai Karna, menunjukkan minat dan bakat yang luar
biasa terhadap ilmu keprajuritan dan persenjataan. Ia sering mengamati para
ksatria berlatih dan dengan cepat meniru gerakan-gerakan mereka. Keinginannya
untuk menjadi seorang ksatria besar membara dalam hatinya. Adirata, sang ayah
angkat, melihat potensi besar dalam diri Karna dan mendukung cita-citanya,
meskipun ia tahu jalan yang akan ditempuh Karna akan sangat sulit karena status
sosial mereka sebagai keluarga Suta atau kusir.
Karna yang beranjak remaja
mencoba untuk belajar ilmu perang secara formal. Ia mendengar tentang kehebatan
Guru Dronacharya, guru para pangeran Pandawa dan Korawa di Hastinapura. Dengan
penuh harapan, Karna datang menemui Drona dan memohon untuk diterima sebagai
muridnya. Namun, Drona, yang terikat pada aturan kasta dan tugasnya untuk
mendidik para pangeran berdarah Ksatria, menolak Karna dengan alasan bahwa ia
tidak mengajarkan ilmu perang kepada mereka yang bukan berasal dari kasta
Ksatria atau Brahmana. Penolakan ini sangat menyakitkan hati Karna dan
menumbuhkan luka mendalam.
Rasa kecewa dan sakit hati akibat
penolakan Drona tidak memadamkan semangat Karna. Sebaliknya, hal itu justru
memperkuat tekadnya untuk membuktikan bahwa ia layak menjadi ksatria terhebat,
melampaui mereka yang terlahir dengan status mulia. Ia bersumpah dalam hati
akan mencari guru lain yang bersedia mengajarinya, atau ia akan belajar sendiri
hingga mencapai puncak keahlian. Ia terus berlatih secara otodidak, mengasah
kemampuannya dalam memanah dan menggunakan berbagai senjata dengan kegigihan
yang luar biasa.
Dalam pencariannya akan ilmu yang
lebih tinggi, Karna mendengar tentang Resi Parasurama, seorang Brahmana ksatria
legendaris yang dikenal sebagai pembasmi kaum Ksatria dan guru bagi para
Brahmana. Namun, Parasurama bersumpah hanya akan mengajar para Brahmana.
Mengetahui hal ini, Karna mengambil risiko besar. Ia datang menemui Parasurama
di pertapaannya di Gunung Mahendra dan mengaku sebagai seorang Brahmana yang
ingin mempelajari ilmu perang tertinggi, termasuk cara menggunakan senjata
Brahmastra. Parasurama terkesan dengan bakat dan ketekunan Karna, sehingga
menerimanya sebagai murid.
Selama bertahun-tahun, Karna
belajar dengan tekun di bawah bimbingan Parasurama dan berhasil menguasai
berbagai ilmu perang tingkat tinggi, bahkan menyamai kehebatan gurunya. Namun,
suatu hari, ketika Parasurama sedang tidur dengan kepala berbantalkan paha
Karna, seekor serangga besar (dalam beberapa versi disebut kalajengking atau
kumbang) datang dan menggigit paha Karna hingga berdarah. Demi menjaga agar
gurunya tidak terbangun, Karna menahan rasa sakit yang luar biasa tanpa
bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dan melihat darah mengalir dari
paha muridnya yang tetap tenang, ia sadar bahwa hanya seorang Ksatria yang
mampu menahan rasa sakit sehebat itu. Merasa dibohongi, Parasurama marah besar dan
mengutuk Karna bahwa ia akan melupakan semua mantra senjata paling penting,
terutama Brahmastra, pada saat ia paling membutuhkannya dalam pertempuran hidup
atau mati. Kutukan ini menjadi salah satu tragedi besar dalam hidup Karna.
Setelah menyelesaikan
pendidikannya dengan Parasurama, meskipun diakhiri dengan kutukan pahit, Karna
kembali ke Hastinapura. Saat itu, Guru Drona sedang mengadakan sebuah turnamen
besar untuk memamerkan keterampilan para muridnya, yaitu pangeran Pandawa dan
Korawa, di hadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura. Acara berlangsung
meriah, dengan Arjuna, pangeran Pandawa ketiga, tampil sebagai bintang utama
yang memukau semua orang dengan kehebatannya dalam memanah dan ilmu perang.
Seluruh penonton bertepuk tangan dan memuji Arjuna setinggi langit.
Di tengah kemeriahan itu,
tiba-tiba muncullah seorang pemuda gagah perkasa yang tidak dikenal, dengan
Kawaca Kundala yang berkilauan memancarkan cahaya keemasan. Pemuda itu adalah
Karna. Dengan langkah tegap dan penuh percaya diri, ia memasuki arena dan
menantang Arjuna untuk berduel, menyatakan bahwa ia mampu melakukan semua yang
telah didemonstrasikan Arjuna, bahkan lebih baik lagi. Kemunculan dan tantangan
Karna yang berani ini membuat seluruh arena gempar. Arjuna menerima tantangan
itu, dan keduanya bersiap untuk bertarung.
Namun, sebelum duel dimulai,
Kripacharya, guru besar lainnya, menginterupsi. Ia mempertanyakan identitas dan
asal-usul Karna. Sesuai aturan, seorang pangeran hanya boleh bertarung dengan
orang yang setara statusnya. Kripa meminta Karna menyebutkan nama ayah, ibu,
dan garis keturunannya. Ketika Karna tidak bisa memberikan jawaban yang
memuaskan kaum bangsawan, dan Adirata maju mengakui Karna sebagai putranya,
Bhima, salah satu Pandawa, menghina Karna dengan kasar, menyebutnya tidak
pantas berada di arena para ksatria karena ia hanyalah anak seorang kusir.
Hinaan ini kembali melukai hati Karna yang selama ini mendambakan pengakuan.
Di saat Karna merasa terhina dan
dipermalukan di depan umum, Duryodana, putra tertua Raja Dretarastra dan
pemimpin para Korawa, maju membelanya. Duryodana, yang sejak lama menyimpan iri
hati dan persaingan terhadap Arjuna dan Pandawa, melihat kesempatan emas dalam
diri Karna. Ia melihat potensi Karna sebagai sekutu yang kuat untuk melawan
Pandawa. Dengan lantang, Duryodana menyatakan bahwa kehebatan seorang ksatria
tidak diukur dari kelahirannya, melainkan dari keberanian dan keterampilannya.
Untuk mengatasi masalah status,
Duryodana saat itu juga, di hadapan semua orang, menobatkan Karna sebagai Raja
Angga, sebuah kerajaan bawahan Hastinapura. Dengan demikian, Karna kini
memiliki status bangsawan yang setara dengan Arjuna dan berhak untuk bertarung.
Tindakan Duryodana ini membuat Karna merasa sangat terharu dan berhutang budi.
Sejak saat itu, Karna bersumpah akan selalu setia kepada Duryodana sampai mati.
Persahabatan antara Karna dan Duryodana pun terjalin erat, sebuah ikatan yang
akan membawa konsekuensi besar di kemudian hari.
Pengangkatan sebagai Raja Angga
oleh Duryodana merupakan titik balik krusial dalam kehidupan Karna. Untuk
pertama kalinya, ia merasa dihargai, diakui keberadaannya, dan diberikan
kehormatan yang selama ini ia impikan, justru oleh orang yang sering dianggap
sebagai antagonis dalam kisah ini. Rasa terima kasih Karna kepada Duryodana
begitu mendalam, sehingga ia menganggapnya sebagai sahabat sejati yang telah
mengangkatnya dari hinaan dan memberinya tempat terhormat di dunia para
ksatria. Kesetiaan Karna kepada Duryodana menjadi prinsip utama yang ia pegang
teguh sepanjang hidupnya.
Kesetiaan ini seringkali
menempatkan Karna dalam posisi yang sulit. Ia sadar bahwa Duryodana dan
saudara-saudaranya, para Korawa, seringkali bertindak karena iri hati,
keserakahan, dan ambisi yang tidak sehat terhadap Pandawa. Karna, yang pada
dasarnya memiliki hati yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai ksatria
seperti kemurahan hati dan kejujuran, terkadang merasa tidak nyaman dengan
tindakan-tindakan licik atau tidak adil yang direncanakan oleh Duryodana dan
sekutunya, Sangkuni. Namun, rasa hutang budinya yang besar selalu mengalahkan
keraguan moralnya.
Dalam banyak kesempatan, Karna
memilih untuk tetap diam atau bahkan mendukung rencana Korawa, meskipun hatinya
mungkin tidak sepenuhnya setuju. Ia merasa terikat oleh sumpahnya dan
persahabatannya. Baginya, meninggalkan Duryodana di saat sulit sama saja dengan
pengkhianatan terhadap orang yang telah memberinya segalanya ketika dunia
menolaknya. Kesetiaan ini menjadi dharma pribadinya, meskipun seringkali
bertentangan dengan dharma umum atau kebenaran universal yang sebenarnya lebih
dipegang oleh pihak Pandawa.
Konflik batin ini terus
membayangi Karna. Di satu sisi, ia adalah ksatria perkasa dengan potensi
kebajikan yang besar, dikenal karena kedermawanannya yang tanpa batas (ia tidak
pernah menolak permintaan siapa pun yang datang kepadanya saat ia selesai
berdoa kepada Dewa Surya). Di sisi lain, ia terikat pada persahabatan dengan
pihak yang seringkali dianggap salah, membuatnya terlibat dalam
tindakan-tindakan yang merugikan Pandawa, saudara-saudara tirinya yang tidak ia
ketahui.
Kesetiaan Karna yang buta ini
menjadi salah satu elemen tragis dalam hidupnya. Ia menjadi contoh bagaimana
rasa terima kasih dan persahabatan, meskipun merupakan nilai yang mulia, dapat
mengarahkan seseorang pada jalan yang salah jika tidak diimbangi dengan
kebijaksanaan dan kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah secara
objektif. Ia terjebak dalam lingkaran hutang budi yang membuatnya sulit untuk
melihat kebenaran yang lebih besar.
Seiring berjalannya waktu,
perselisihan antara Pandawa dan Korawa semakin meruncing hingga mencapai
puncaknya, dan perang besar yang tak terhindarkan, Bharatayuddha, sudah di
ambang mata. Semua pihak mempersiapkan diri, mengumpulkan sekutu dan senjata.
Di tengah suasana genting ini, sebuah rahasia besar yang selama ini terkubur
rapat akhirnya terungkap, membawa dampak emosional yang luar biasa bagi Karna
dan pihak-pihak terkait.
Menyadari bahwa perang berarti
Karna akan berhadapan langsung dengan putra-putranya, terutama Arjuna, Dewi
Kunti dilanda kecemasan yang hebat. Ia tidak sanggup membayangkan putra
sulungnya harus bertarung melawan adik-adiknya sendiri. Didorong oleh naluri
keibuan dan harapan untuk mencegah pertumpahan darah antar saudara, Kunti
memberanikan diri menemui Karna secara diam-diam di tepi sungai Gangga, tempat
Karna biasa melakukan ritual pemujaan kepada Dewa Surya.
Dalam pertemuan yang penuh haru
dan air mata itu, Kunti akhirnya mengungkapkan rahasia yang telah disimpannya
selama puluhan tahun. Ia mengaku bahwa dirinyalah ibu kandung Karna, dan Karna
sesungguhnya adalah putra Dewa Surya, kakak tertua dari kelima Pandawa. Kunti
menceritakan alasan mengapa ia terpaksa menghanyutkannya saat bayi dan
mengungkapkan penyesalannya yang mendalam. Ia memohon agar Karna mau
memaafkannya dan bersedia meninggalkan pihak Korawa untuk bergabung dengan
Pandawa, mengambil haknya sebagai putra sulung Kunti.
Karna terguncang hebat mendengar
pengakuan itu. Kenyataan bahwa ia adalah seorang Ksatria berdarah dewa, bukan
anak kusir, dan merupakan saudara tertua dari para Pandawa yang selama ini
menjadi rivalnya, adalah sebuah pukulan telak. Namun, setelah keterkejutan awal
mereda, Karna menunjukkan kebesaran jiwanya. Ia menghormati Kunti sebagai ibu
yang melahirkannya, namun dengan berat hati ia menolak permintaannya. Ia
menjelaskan bahwa Duryodana telah memberinya kehormatan dan persahabatan saat
ia dihina dan ditolak oleh dunia, termasuk oleh Pandawa (meskipun mereka tidak
tahu). Ia telah bersumpah setia kepada Duryodana dan tidak akan mengingkari
sumpahnya.
Meskipun menolak bergabung dengan
Pandawa, Karna memberikan sedikit penghiburan kepada Kunti. Ia berjanji bahwa
dalam perang nanti, ia hanya akan fokus untuk bertarung dan mengalahkan Arjuna.
Ia tidak akan membunuh keempat Pandawa lainnya (Yudhistira, Bhima, Nakula,
Sadewa). Dengan demikian, Kunti akan tetap memiliki lima orang putra, siapapun
yang gugur antara Karna atau Arjuna. Janji ini menunjukkan sisi mulia Karna di
tengah kesetiaannya yang tak tergoyahkan pada Duryodana. Pertemuan itu berakhir
dengan kesedihan, menegaskan takdir tragis Karna yang harus melawan
saudara-saudaranya sendiri.
Mengetahui bahwa Karna adalah
ancaman terbesar bagi Arjuna dan Pandawa dalam perang yang akan datang, para
dewa pun mulai ikut campur dalam takdirnya. Dewa Indra, raja para dewa
sekaligus ayah kandung Arjuna, merasa khawatir akan keselamatan putranya jika
harus berhadapan dengan Karna yang dilindungi oleh Kawaca Kundala pemberian
Dewa Surya. Pelindung ilahi itu membuat Karna hampir mustahil untuk dilukai
oleh senjata apapun. Oleh karena itu, Indra menyusun sebuah rencana licik.
Indra menyamar sebagai seorang
Brahmana tua yang miskin dan datang menemui Karna tepat setelah Karna selesai
melakukan ritual pemujaan pagi kepada Dewa Surya. Pada saat itu, Karna terkenal
memiliki kebiasaan untuk tidak pernah menolak permintaan sedekah (dana) dari
siapapun. Mengetahui hal ini, Brahmana jelmaan Indra tersebut meminta sedekah
yang paling berharga dari Karna, yaitu Kawaca dan Kundala yang menempel di
tubuhnya sejak lahir. Dewa Surya, ayah kandung Karna, telah memperingatkan
Karna dalam mimpi tentang tipu daya Indra ini, namun Karna mengabaikannya.
Meskipun tahu bahwa memberikan
Kawaca Kundala berarti melepaskan perlindungan utamanya dan membuatnya rentan
dalam pertempuran, Karna tidak bisa mengingkari sumpahnya untuk selalu
berderma. Dengan hati yang lapang dan tanpa keraguan, Karna mengiris sendiri
baju zirah dan anting-anting emas itu dari tubuhnya, meskipun proses itu
menyakitkan dan berdarah. Ia menyerahkan kedua benda pusaka itu kepada Brahmana
jelmaan Indra. Terkesan dengan kemurahan hati dan keteguhan Karna yang luar
biasa, Indra merasa bersalah namun juga kagum. Sebagai gantinya, Indra
memberikan sebuah senjata sakti sekali pakai yang sangat dahsyat bernama Vasavi
Shakti (atau Kontawijayadanu dalam versi Jawa) kepada Karna, dengan pesan agar
digunakan hanya pada saat yang paling genting.
Ketika Perang Bharatayuddha
akhirnya meletus di Kurukshetra, Karna bertarung dengan gagah berani di pihak
Korawa. Setelah gugurnya panglima-panglima besar seperti Bhisma dan Drona,
Duryodana mengangkat Karna sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna
membuktikan kehebatannya, menebar ketakutan di kalangan pasukan Pandawa. Ia
berhasil mengalahkan dan hampir membunuh Yudhistira dan Bhima dalam beberapa
kesempatan, namun ia melepaskan mereka karena teringat janjinya kepada Kunti.
Ia juga terlibat dalam duel-duel sengit lainnya, termasuk melawan Gatotkaca,
putra Bhima yang sakti.
Pertarungan melawan Gatotkaca
terjadi pada malam hari, di mana kekuatan raksasa Gatotkaca mencapai puncaknya
dan ia berhasil memorak-porandakan pasukan Korawa. Duryodana mendesak Karna
untuk menggunakan Vasavi Shakti guna menghentikan Gatotkaca. Dengan berat hati,
karena senjata itu sebenarnya ingin ia simpan untuk melawan Arjuna, Karna
terpaksa melepaskan Vasavi Shakti ke arah Gatotkaca. Senjata itu melesat dan
menewaskan Gatotkaca seketika, menyelamatkan pasukan Korawa dari kehancuran
malam itu. Namun, dengan digunakannya Vasavi Shakti, Karna telah kehilangan
senjata andalan terakhirnya untuk menghadapi Arjuna. Pertarungan puncak antara
kedua ksatria terbaik itu pun semakin dekat.
Hari keenam belas dan ketujuh
belas Perang Bharatayuddha menjadi saksi pertarungan paling dinanti dan paling
dahsyat antara dua ksatria pemanah terbaik, Karna dan Arjuna. Pertempuran
mereka begitu sengit, langit seolah bergetar oleh dentingan anak panah yang
saling beradu. Keduanya mengerahkan seluruh kemampuan dan senjata ilahi yang
mereka miliki. Namun, takdir tragis Karna mulai menunjukkan kuasanya. Dua
kutukan yang pernah diterimanya di masa lalu mulai bekerja pada saat yang
paling krusial.
Pertama, kutukan dari Resi Parasurama
menjadi kenyataan. Ketika Karna mencoba menggunakan mantra Brahmastra, senjata
pamungkas yang ia pelajari dari sang guru, tiba-tiba ia melupakan mantra
penting tersebut, tepat pada saat ia sangat membutuhkannya untuk mengalahkan
Arjuna. Kedua, kutukan dari seorang Brahmana yang sapinya tidak sengaja
terbunuh oleh panah Karna saat berlatih dulu, kini terwujud. Roda kereta perang
Karna tiba-tiba amblas terperosok ke dalam lumpur medan perang, membuatnya
tidak bisa bergerak maju atau mundur. Kejadian ini membuatnya rentan dan berada
dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.
Dalam keadaan sulit itu, Karna
meminta Arjuna untuk menghentikan serangan sejenak, sesuai dengan etika perang
ksatria yang melarang menyerang musuh yang sedang kesulitan atau tidak bersenjata.
Ia turun dari keretanya, mencoba mengangkat roda yang amblas dengan sekuat
tenaga. Namun, Krisna, sais kereta Arjuna sekaligus penasihat utamanya,
mendesak Arjuna untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Krisna
mengingatkan Arjuna akan semua perbuatan Karna di masa lalu yang merugikan
Pandawa, termasuk perannya (meskipun pasif dalam beberapa versi) saat
penghinaan Drupadi dan keterlibatannya dalam rencana licik Korawa. Atas desakan
Krisna, Arjuna yang ragu akhirnya melepaskan panah pusaka Anjalikastra.
Panah sakti itu melesat lurus dan
mengenai leher Karna yang sedang berusaha mengangkat roda keretanya. Seketika,
Karna gugur sebagai ksatria. Rohnya dikatakan terbang ke langit dan bersatu
kembali dengan ayahnya, Dewa Surya. Gugurnya Karna membawa kesedihan mendalam
tidak hanya bagi pihak Korawa, tetapi juga bagi Kunti dan Pandawa (setelah
mereka mengetahui kebenarannya), serta menjadi salah satu momen paling tragis
dalam Mahabharata. Karna dikenang sebagai ksatria agung yang hidupnya penuh ironi,
kesetiaan yang tak tergoyahkan, kemurahan hati yang luar biasa, namun juga
korban dari status sosial, takdir, dan kutukan masa lalu.
Kisah Karna memberikan banyak
pelajaran moral yang mendalam. Ia mengajarkan tentang kompleksitas dharma
(kewajiban/kebenaran), di mana kesetiaan kepada teman (dharma pribadi) bisa
bertentangan dengan kebenaran universal. Kesetiaannya pada Duryodana, meskipun
mulia dalam konteks persahabatan, membawanya pada kehancuran karena ia berpihak
pada ketidakadilan. Ini mengingatkan kita untuk bijaksana dalam memilih kepada
siapa kita setia dan memastikan kesetiaan itu tidak membutakan kita dari
kebenaran. Kisah Karna juga menyoroti tragedi akibat diskriminasi sosial dan
pentingnya pengakuan. Penolakan yang terus-menerus ia terima karena statusnya
sebagai anak kusir membentuk sebagian besar jalan hidup dan keputusannya.
Selain itu, kemurahan hati Karna yang legendaris, bahkan saat menghadapi
kematian, mengajarkan tentang nilai kedermawanan dan keteguhan prinsip,
meskipun kadang prinsip itu membawanya pada situasi sulit. Hidupnya adalah
cerminan perjuangan manusia melawan takdir, kutukan, dan konflik batin yang
abadi.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan
yang Maha Kuasa.
Komentar
Posting Komentar