Kisah Legenda Krisna
Di Kerajaan Mathura yang kuno,
memerintahlah seorang raja bernama Kangsa. Ia adalah penguasa yang kuat namun
lalim dan kejam, merebut takhta dari ayahnya sendiri, Raja Ugrasena. Kangsa
memiliki seorang adik perempuan yang sangat ia sayangi bernama Dewaki, yang
menikah dengan seorang bangsawan Yadawa bernama Basudewa. Pada hari pernikahan
mereka, sebuah suara gaib dari langit (Akasavani) menggema, memperingatkan
Kangsa bahwa putra kedelapan Dewaki kelak akan menjadi penyebab kematiannya.
Mendengar ramalan mengerikan itu,
Kangsa yang paranoid segera mencabut pedangnya hendak membunuh Dewaki. Namun,
Basudewa memohon ampun dan berjanji akan menyerahkan setiap anak yang lahir
dari Dewaki kepada Kangsa. Kangsa setuju, namun ia memenjarakan Dewaki dan
Basudewa dalam penjara istana yang dijaga ketat. Satu per satu, enam putra
pertama Dewaki lahir dan langsung dibunuh dengan kejam oleh Kangsa. Putra
ketujuh, Balarama, secara ajaib dipindahkan dari rahim Dewaki ke rahim Rohini,
istri Basudewa yang lain, sehingga selamat.
Ketika tiba saatnya Dewaki
melahirkan putranya yang kedelapan, keajaiban terjadi. Pada tengah malam yang
gelap di bulan Shravana, lahirlah seorang bayi laki-laki yang luar biasa. Bayi
itu bukanlah bayi biasa; ia adalah perwujudan Dewa Wisnu sendiri, dengan kulit
gelap kebiruan yang memancarkan cahaya ilahi. Seketika, seluruh penjaga penjara
tertidur lelap, pintu-pintu penjara terbuka dengan sendirinya, dan belenggu
yang mengikat Dewaki serta Basudewa terlepas.
Suara gaib kembali terdengar,
memerintahkan Basudewa untuk segera membawa bayi itu ke seberang Sungai Yamuna,
ke desa Gokul, dan menukarnya dengan bayi perempuan yang baru saja dilahirkan
oleh Yasoda, istri kepala suku penggembala Nanda. Malam itu, hujan turun deras
dan Sungai Yamuna meluap. Namun, saat Basudewa melangkah membawa keranjang
berisi bayi Krisna di atas kepalanya, air sungai surut memberi jalan, dan Sesa
Naga, ular ilahi, memayungi mereka dari hujan lebat.
Basudewa tiba di rumah Nanda,
menemukan semua orang tertidur. Ia menukar bayi Krisna dengan bayi perempuan
Yasoda (yang merupakan manifestasi dari Yogamaya, kekuatan ilahi) dan segera
kembali ke penjara Mathura sebelum fajar menyingsing. Pintu penjara tertutup
kembali, belenggu terpasang, dan para penjaga terbangun. Bayi perempuan itu
menangis, memberitahu Kangsa tentang kelahirannya. Ketika Kangsa hendak membunuhnya,
bayi itu melesat ke langit, berubah menjadi Dewi Yogamaya, dan berkata,
"Orang yang akan membunuhmu telah lahir dan berada di tempat yang
aman!" Kangsa terkejut dan ketakutan, namun ia tidak tahu di mana
inkarnasi mautnya itu berada.
Krisna tumbuh besar di lingkungan
pedesaan Gokul yang damai dan penuh kasih sayang di bawah asuhan Nanda dan
Yasoda. Mereka dan seluruh penduduk Gokul tidak mengetahui asal-usul ilahi
Krisna, mereka hanya tahu bahwa ia adalah anak yang sangat istimewa, tampan,
cerdas, namun juga luar biasa nakal. Krisna kecil sangat menyukai mentega dan
dadih susu. Bersama teman-teman penggembalanya, ia seringkali menyelinap masuk
ke rumah-rumah para Gopi (wanita pemerah susu dan penggembala) untuk mencuri
mentega segar yang disimpan dalam kendi-kendi tanah liat.
Kenakalan Krisna ini, yang
dikenal sebagai Makhan Chor (Pencuri Mentega), bukanlah kenakalan biasa. Itu
adalah bagian dari lila atau permainan ilahinya, yang membawa sukacita dan
kebahagiaan bagi para Gopi, meskipun mereka sering berpura-pura mengadukannya
kepada Yasoda. Yasoda, sang ibu angkat, sangat menyayangi Krisna namun juga
sering dibuat pusing oleh ulahnya. Suatu ketika, Yasoda mencoba mengikat Krisna
pada sebuah lesung kayu besar sebagai hukuman, namun tali apapun tidak cukup
panjang untuk mengikat perutnya sampai ia menunjukkan belas kasih. Di lain
waktu, ketika Krisna dituduh memakan tanah, Yasoda memaksanya membuka mulut,
dan betapa terkejutnya ia ketika melihat seluruh alam semesta, lengkap dengan
bintang, planet, dan galaksi, berada di dalam mulut kecil Krisna.
Sementara itu, Kangsa yang terus
merasa terancam, mengirimkan berbagai macam iblis (asura) dalam berbagai wujud
untuk mencari dan membunuh bayi yang diramalkan akan menamatkan riwayatnya.
Namun, satu per satu, semua utusan Kangsa itu berhasil dikalahkan oleh Krisna
kecil dengan kekuatan ilahinya. Ia membunuh iblis wanita Putana yang menyamar
sebagai wanita cantik dan mencoba meracuninya dengan air susu beracun. Ia
menaklukkan iblis Trinawarta yang datang sebagai angin puting beliung, serta
iblis Bakasura yang berwujud bangau raksasa.
Salah satu peristiwa paling
terkenal adalah ketika Krisna menaklukkan Kaliya, seekor naga ular berbisa
raksasa yang meracuni air Sungai Yamuna, membuat para penggembala dan ternak
mereka menderita. Krisna melompat ke sungai, bertarung dengan Kaliya, dan
menari di atas kepala-kepala naga itu hingga ia takluk. Krisna tidak membunuh
Kaliya, namun memerintahkannya untuk pergi jauh dari Yamuna. Di lain kesempatan,
untuk melindungi penduduk Vrindavan (tempat mereka pindah dari Gokul) dari
amukan Dewa Indra yang menurunkan hujan badai dahsyat, Krisna mengangkat Bukit
Gowardhana dengan jari kelingkingnya selama tujuh hari tujuh malam,
menjadikannya payung raksasa bagi seluruh penduduk dan ternak.
Beranjak remaja, Krisna tumbuh
menjadi pemuda yang luar biasa tampan dengan kulit gelap kebiruan yang memikat,
senyum menawan, dan mata yang penuh daya tarik ilahi. Ia adalah seorang
penggembala sapi yang ulung, namun keistimewaannya yang paling memukau adalah
kemahirannya memainkan seruling bambu (bansuri). Ketika Krisna memainkan
serulingnya di bawah pohon rindang di tepi Sungai Yamuna atau di padang rumput
Vrindavan, alunan musiknya begitu merdu dan ajaib hingga mampu menghentikan
waktu.
Alunan seruling Krisna tidak
hanya memikat hewan-hewan seperti sapi dan rusa yang akan berhenti merumput
untuk mendengarkan, atau burung-burung yang akan hinggap mendekat, tetapi juga
secara khusus memikat hati para Gopi, para gadis dan wanita penggembala sapi di
Vrindavan. Mereka merasakan panggilan jiwa yang tak tertahankan untuk datang
kepada Krisna setiap kali mendengar suara serulingnya, terutama di malam hari
saat bulan purnama bersinar terang. Mereka meninggalkan rumah, suami, dan
anak-anak mereka, berlari menuju sumber suara itu, didorong oleh cinta bhakti
yang murni kepada Sang Ilahi.
Di antara para Gopi, ada satu
sosok yang paling istimewa, yaitu Radha. Radha dianggap sebagai kekasih utama
Krisna, perwujudan dari energi kesenangan ilahi (hladini shakti) dan simbol
jiwa individu (jivatma) yang merindukan penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa
(Paramatma), yang direpresentasikan oleh Krisna. Kisah cinta antara Radha dan
Krisna adalah alegori cinta ilahi yang paling agung dalam tradisi Bhakti
Hinduisme. Cinta mereka murni, melampaui batas-batas duniawi, penuh kerinduan,
pengabdian, dan kebahagiaan spiritual.
Pada malam-malam bulan purnama
yang indah, Krisna akan memanggil para Gopi dengan serulingnya untuk melakukan
tarian suci yang dikenal sebagai Rasa Lila. Dalam tarian ini, Krisna secara
ajaib menggandakan dirinya sehingga setiap Gopi merasa bahwa Krisna menari
bersamanya secara pribadi. Rasa Lila adalah puncak dari permainan ilahi Krisna
di Vrindavan, melambangkan tarian kosmik antara Tuhan dan jiwa-jiwa yang
mengasihinya, sebuah perayaan cinta, keindahan, dan kebahagiaan tertinggi.
Pesona Krisna sebagai pemuda
penggembala yang ilahi, dengan serulingnya yang magis dan cintanya kepada para
Gopi, khususnya Radha, menjadi bagian yang paling disayangi dan dirayakan dalam
legenda hidupnya. Masa-masa di Vrindavan ini menunjukkan aspek Krisna sebagai
perwujudan cinta kasih dan keindahan ilahi yang absolut, menarik jiwa-jiwa
untuk kembali kepada sumber mereka melalui jalan pengabdian (bhakti yoga).
Meskipun kehidupan di Vrindavan
penuh dengan kebahagiaan dan cinta ilahi, takdir Krisna memanggilnya untuk
tugas yang lebih besar. Waktunya telah tiba baginya untuk memenuhi ramalan dan
mengakhiri kezaliman pamannya, Kangsa, di Mathura. Akrura, seorang menteri
Kangsa yang sebenarnya adalah penyembah Wisnu, diutus untuk menjemput Krisna
dan kakaknya, Balarama, ke Mathura dengan dalih mengundang mereka untuk
menghadiri sebuah upacara persembahan besar dan pertandingan gulat.
Perpisahan Krisna dengan
Vrindavan, Nanda, Yasoda, para sahabat penggembala, dan terutama para Gopi
serta Radha, adalah momen yang sangat mengharukan. Ia berjanji akan selalu ada
di hati mereka, meskipun secara fisik ia harus pergi. Dengan berat hati namun
penuh tekad, Krisna dan Balarama berangkat menuju Mathura bersama Akrura.
Sepanjang perjalanan, Akrura menyaksikan berbagai tanda keilahian Krisna.
Setibanya di Mathura, Krisna dan
Balarama segera menjadi pusat perhatian. Mereka dengan mudah mengalahkan seekor
gajah kerajaan yang gila bernama Kuwalayapida, yang sengaja dilepas oleh Kangsa
untuk membunuh mereka. Mereka juga mematahkan busur suci milik Dewa Siwa yang
dijaga ketat, menunjukkan kekuatan mereka yang luar biasa. Berita tentang
kedatangan dan kehebatan dua pemuda dari Vrindavan ini menyebar cepat,
menimbulkan harapan di hati rakyat Mathura yang tertindas dan ketakutan di hati
Kangsa.
Pada hari pertandingan gulat yang
telah diatur oleh Kangsa, Krisna dan Balarama dihadapkan pada dua pegulat
terkuat dan paling kejam milik Kangsa, yaitu Chanura dan Mushtika. Meskipun
Krisna dan Balarama masih sangat muda dibandingkan lawan mereka, dengan
kekuatan dan kelincahan ilahi, mereka berhasil mengalahkan dan membunuh kedua
pegulat raksasa itu di hadapan seluruh rakyat Mathura dan Kangsa sendiri.
Melihat kekalahan pegulat
andalannya, Kangsa murka dan memerintahkan penangkapan Krisna, Balarama, serta
Basudewa dan Nanda. Namun, sebelum perintah itu dilaksanakan, Krisna melompat
ke arena kerajaan, menyeret Kangsa dari singgasananya, dan dalam pertarungan
singkat namun menentukan, Krisna membunuh pamannya yang lalim itu, tepat
seperti yang telah diramalkan. Kematian Kangsa disambut sorak sorai kelegaan
oleh rakyat Mathura. Krisna kemudian membebaskan orang tua kandungnya, Dewaki
dan Basudewa, dari penjara, serta memulihkan kakeknya, Ugrasena, ke takhta
Mathura. Keadilan dan kedamaian akhirnya kembali ke kerajaan itu.
Setelah kematian Kangsa,
kedamaian di Mathura tidak berlangsung lama. Jarasandha, raja Magadha yang
perkasa dan ayah mertua dari dua istri Kangsa, merasa sangat marah atas
kematian menantunya. Ia menganggap Krisna sebagai ancaman dan bersumpah untuk membalas
dendam. Jarasandha, dengan bala tentara yang sangat besar, menyerang Mathura
berkali-kali, konon hingga tujuh belas kali. Meskipun Krisna dan Balarama
selalu berhasil memukul mundur serangan Jarasandha, peperangan yang
terus-menerus ini menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat Mathura.
Menyadari bahwa pertempuran
melawan Jarasandha akan terus berlanjut dan membahayakan keselamatan rakyatnya,
kaum Yadawa, Krisna mengambil keputusan strategis. Ia memutuskan untuk
memindahkan seluruh rakyatnya dari Mathura ke tempat baru yang lebih aman dan
terlindungi. Dengan kekuatan ilahinya dan bantuan dari Wiswakarma (arsitek para
dewa), Krisna membangun sebuah kota kerajaan baru yang megah dan spektakuler di
sebuah pulau di lepas pantai barat India, di wilayah Saurashtra (sekarang
Gujarat).
Kota baru ini dinamakan Dwaraka,
yang berarti "Gerbang". Dwaraka dirancang sebagai benteng yang tak
tertembus, dikelilingi oleh lautan, dengan tembok-tembok tinggi, gerbang-gerbang
megah, istana-istana indah yang terbuat dari emas dan permata, taman-taman yang
asri, serta fasilitas publik yang lengkap. Kota ini menjadi ibu kota baru bagi
bangsa Yadawa, tempat mereka bisa hidup damai dan makmur di bawah kepemimpinan
Krisna sebagai seorang pangeran, raja, sekaligus pemandu spiritual.
Di Dwaraka, Krisna menjalani
kehidupan sebagai seorang kepala negara dan kepala rumah tangga. Ia dikenal
sebagai raja yang adil, bijaksana, dan sangat peduli pada kesejahteraan
rakyatnya. Ia juga menikah dengan beberapa putri raja, yang menjadi ratu-ratu
utamanya. Pernikahan yang paling terkenal adalah dengan Rukmini, putri Raja
Bhishmaka dari Vidarbha. Rukmini jatuh cinta pada Krisna setelah mendengar
cerita tentang keagungannya dan mengirim surat rahasia memintanya untuk
menculiknya sebelum ia dipaksa menikah dengan Shishupala. Krisna datang dan
membawa lari Rukmini dengan kereta perangnya, menjadikannya permaisuri utama.
Selain Rukmini, Krisna juga
menikah dengan Satyabama, putri Satrajit yang terkenal karena permata
Syamantaka, dan Jambawati, putri Raja Beruang Jambawan. Krisna memiliki banyak
istri lain dan ribuan anak, yang melambangkan kelimpahan dan kemakmuran
pemerintahannya di Dwaraka. Kehidupan di Dwaraka menunjukkan aspek Krisna
sebagai pelindung Dharma, seorang negarawan ulung, dan raja yang ideal, yang
membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Meskipun memerintah di Dwaraka,
pengaruh dan keterlibatan Krisna meluas ke seluruh Bharatawarsha (India kuno),
terutama dalam konflik besar antara dua keluarga bangsawan dari Dinasti Kuru:
Pandawa dan Kurawa. Krisna memiliki hubungan kekerabatan dengan kedua belah
pihak. Kunti, ibu dari tiga Pandawa tertua (Yudhistira, Bhima, Arjuna), adalah
adik perempuan dari ayah Krisna, Basudewa. Oleh karena itu, Pandawa adalah
sepupu Krisna. Di sisi lain, istri Duryodhana, pemimpin Kurawa, juga memiliki
hubungan kerabat dengan keluarga Krisna.
Sejak awal perselisihan, Krisna
selalu menunjukkan keberpihakannya pada Pandawa, yang ia anggap berada di jalan
kebenaran (Dharma). Ia menjadi sahabat karib, penasihat utama, dan pelindung
bagi kelima Pandawa bersaudara, terutama Arjuna, yang memiliki hubungan
spiritual yang sangat mendalam dengannya. Krisna hadir dalam banyak momen penting
dalam kehidupan Pandawa, mulai dari sayembara Drupadi, pembangunan istana
Indraprastha, hingga permainan dadu yang curang yang menyebabkan Pandawa
kehilangan kerajaan dan harus menjalani pengasingan selama tiga belas tahun.
Setelah masa pengasingan berakhir,
Pandawa berhak meminta kembali kerajaan mereka sesuai perjanjian. Namun, Kurawa
yang licik dan serakah, dipimpin oleh Duryodhana, menolak memberikan hak
Pandawa, bahkan sejengkal tanah pun. Krisna berusaha keras untuk mencegah
perang saudara yang mengerikan ini. Ia pergi ke Hastinapura, ibu kota Kurawa,
sebagai duta perdamaian Pandawa. Di sana, ia mencoba meyakinkan Duryodhana dan
para tetua Kurawa seperti Bisma, Drona, dan Widura untuk berdamai dan
mengembalikan hak Pandawa.
Namun, upaya damai Krisna gagal
total. Duryodhana yang keras kepala dan dibutakan oleh kesombongan menolak
semua usulan damai, bahkan mencoba menangkap Krisna. Krisna kemudian
menunjukkan sebagian kecil dari bentuk semestanya (Wiswarupa) di balairung
istana, membuat semua yang hadir terkejut dan ketakutan, sebelum akhirnya
kembali ke pihak Pandawa dengan berita bahwa perang tidak terhindarkan.
Menjelang perang besar
Bharatayuddha di medan Kurusetra, kedua belah pihak mencari dukungan Krisna.
Krisna memberikan pilihan: satu pihak bisa mendapatkan seluruh pasukan Narayani
miliknya yang perkasa, sementara pihak lain akan mendapatkan dirinya sendiri,
namun ia bersumpah tidak akan mengangkat senjata dalam perang itu. Arjuna,
mewakili Pandawa, memilih Krisna sebagai kusir keretanya. Duryodhana, mewakili
Kurawa, dengan senang hati memilih pasukan Narayani. Keputusan ini menunjukkan
betapa pentingnya kehadiran dan bimbingan ilahi Krisna bagi Pandawa, melebihi
kekuatan militer manapun.
Momen paling krusial dan paling
dihormati dalam keterlibatan Krisna di Mahabharata terjadi tepat sebelum Perang
Bharatayuddha dimulai di medan luas Kurusetra. Ketika kedua pasukan besar,
Pandawa dan Kurawa, telah berbaris rapi saling berhadapan, siap untuk memulai
pertempuran, Arjuna, sang ksatria Pandawa terhebat, meminta Krisna, kusirnya,
untuk membawa keretanya ke tengah-tengah medan perang.
Dari posisi itu, Arjuna melihat
barisan musuh di hadapannya. Betapa terkejut dan sedihnya ia ketika menyadari
bahwa di pihak Kurawa berdiri para guru yang ia hormati (Drona dan Krepa),
kakek yang ia sayangi (Bisma), saudara-saudara sepupu, paman, dan kerabat
lainnya. Memikirkan bahwa ia harus membunuh orang-orang yang ia cintai dan
hormati demi sebuah kerajaan membuatnya dilanda keraguan hebat, kesedihan
mendalam, dan keputusasaan. Tubuhnya gemetar, mulutnya kering, dan busur
Gandiwa terlepas dari tangannya. Arjuna menyatakan kepada Krisna bahwa ia tidak
sanggup berperang.
Di saat genting inilah Krisna
beralih peran dari sekadar kusir dan sahabat menjadi seorang Guru Agung
(Jagadguru). Ia memberikan wejangan spiritual yang mendalam dan abadi kepada
Arjuna, yang kemudian dikenal sebagai Bhagawad Gita ("Nyanyian
Tuhan"). Wejangan ini merupakan inti sari ajaran Weda dan Upanisad,
disampaikan dalam bentuk dialog antara Krisna dan Arjuna, terdiri dari 700
sloka dalam 18 bab.
Dalam Bhagawad Gita, Krisna
menjelaskan berbagai konsep fundamental filsafat Hindu. Ia mengajarkan tentang
sifat sejati jiwa (Atman) yang abadi, tidak pernah lahir dan tidak pernah mati,
berbeda dari tubuh fisik yang bersifat sementara. Ia menjelaskan pentingnya
menjalankan dharma (kewajiban) sesuai dengan kedudukan masing-masing tanpa
terikat pada hasil (Karma Yoga). Ia menguraikan berbagai jalan untuk mencapai
pembebasan (Moksa) dan penyatuan dengan Yang Maha Kuasa, termasuk jalan
pengetahuan (Jnana Yoga) dan jalan pengabdian atau cinta kasih (Bhakti Yoga).
Krisna menekankan pentingnya
bertindak tanpa pamrih, menyerahkan segala hasil perbuatan kepada Awloh, dan
melihat kehadiran-Nya dalam segala makhluk. Untuk menghilangkan keraguan Arjuna
sepenuhnya dan menunjukkan sifat ilahinya, Krisna menganugerahkan penglihatan
ilahi kepada Arjuna dan menampakkan wujud semestanya yang agung dan menakjubkan
(Wiswarupa Darshana), di mana seluruh alam semesta terlihat berada di dalam
diri-Nya. Ajaran Bhagawad Gita berhasil membangkitkan kembali semangat Arjuna
untuk menjalankan tugasnya sebagai ksatria dan berperang demi menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Setelah Perang Bharatayuddha
berakhir dengan kemenangan Pandawa, Krisna kembali ke Dwaraka dan memerintah
dengan damai selama bertahun-tahun. Namun, kejayaan bangsa Yadawa tidak
berlangsung selamanya. Sebuah kutukan menimpa mereka akibat kesombongan
beberapa pangeran Yadawa yang menghina para resi agung. Kutukan itu menyatakan
bahwa bangsa Yadawa akan saling menghancurkan satu sama lain dengan senjata
yang lahir dari sebuah alu besi terkutuk. Krisna mengetahui hal ini namun menerima
takdir tersebut sebagai bagian dari lila ilahi.
Pada suatu perayaan di pantai
Prabhasa, para pangeran Yadawa mabuk berat dan mulai bertikai hebat. Pertikaian
itu dengan cepat berubah menjadi pertempuran massal yang brutal, di mana mereka
saling membunuh menggunakan alang-alang tajam yang tumbuh dari serbuk alu besi
terkutuk. Krisna dan Balarama menyaksikan kehancuran kaum mereka sendiri dengan
sedih namun pasrah. Balarama kemudian bermeditasi dan meninggalkan tubuhnya
sebagai ular putih raksasa menuju lautan. Krisna, menyadari bahwa misinya di
bumi telah selesai, menyendiri dan duduk bermeditasi di bawah pohon di hutan.
Saat itulah, seorang pemburu
bernama Jara, yang sedang berburu rusa, salah mengira telapak kaki Krisna yang
terlihat di antara dedaunan sebagai seekor rusa. Ia melepaskan panahnya dan
mengenai tumit Krisna. Tumit adalah satu-satunya bagian tubuh Krisna yang
rentan, karena sebuah kutukan dari Resi Durwasa (atau dalam versi lain, terkait
kutukan Gandari setelah perang). Ketika Jara menyadari kesalahannya yang fatal,
ia sangat menyesal dan memohon ampun. Krisna dengan penuh welas asih memaafkan
Jara, menjelaskan bahwa ini semua adalah bagian dari rencana ilahi dan
takdirnya. Krisna kemudian meninggalkan tubuh fananya dan kembali ke kediaman
abadinya, Waikuntha.
Kisah hidup Krisna, dari
kelahirannya yang ajaib hingga wafatnya yang penuh makna, sarat dengan
pelajaran moral dan spiritual yang abadi. Ia mengajarkan pentingnya menegakkan
dharma (kebenaran dan kewajiban) dalam segala situasi, bahkan jika harus
menghadapi kesulitan atau konflik. Ajaran Bhagawad Gita yang disampaikannya
menjadi pedoman hidup bagi jutaan orang, menekankan tindakan tanpa pamrih,
pengendalian diri, kebijaksanaan, dan yang terpenting, cinta kasih serta
pengabdian (bhakti) kepada Awloh. Krisna menunjukkan bahwa Tuhan dapat menjelma
dalam wujud manusia untuk melindungi orang baik, menghukum orang jahat, dan
memulihkan keseimbangan alam semesta.
Kehidupan Krisna juga
mengingatkan kita bahwa bahkan inkarnasi Tuhan pun tunduk pada hukum karma dan
takdir dalam permainan kosmik (lila). Kehancuran bangsa Yadawa dan wafatnya
Krisna sendiri menunjukkan sifat sementara dari segala sesuatu di dunia
material, serta pentingnya kesadaran spiritual dan pelepasan dari ikatan
duniawi. Warisan Krisna terus hidup melalui ajarannya yang mendalam,
kisah-kisahnya yang inspiratif, dan cinta kasih ilahi yang ia pancarkan,
membimbing umat manusia menuju pencerahan dan kebahagiaan sejati.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan
yang Maha Kuasa.
Komentar
Posting Komentar