Kisah Legenda Krisna

 


Di Kerajaan Mathura yang kuno, memerintahlah seorang raja bernama Kangsa. Ia adalah penguasa yang kuat namun lalim dan kejam, merebut takhta dari ayahnya sendiri, Raja Ugrasena. Kangsa memiliki seorang adik perempuan yang sangat ia sayangi bernama Dewaki, yang menikah dengan seorang bangsawan Yadawa bernama Basudewa. Pada hari pernikahan mereka, sebuah suara gaib dari langit (Akasavani) menggema, memperingatkan Kangsa bahwa putra kedelapan Dewaki kelak akan menjadi penyebab kematiannya.

Mendengar ramalan mengerikan itu, Kangsa yang paranoid segera mencabut pedangnya hendak membunuh Dewaki. Namun, Basudewa memohon ampun dan berjanji akan menyerahkan setiap anak yang lahir dari Dewaki kepada Kangsa. Kangsa setuju, namun ia memenjarakan Dewaki dan Basudewa dalam penjara istana yang dijaga ketat. Satu per satu, enam putra pertama Dewaki lahir dan langsung dibunuh dengan kejam oleh Kangsa. Putra ketujuh, Balarama, secara ajaib dipindahkan dari rahim Dewaki ke rahim Rohini, istri Basudewa yang lain, sehingga selamat.

Ketika tiba saatnya Dewaki melahirkan putranya yang kedelapan, keajaiban terjadi. Pada tengah malam yang gelap di bulan Shravana, lahirlah seorang bayi laki-laki yang luar biasa. Bayi itu bukanlah bayi biasa; ia adalah perwujudan Dewa Wisnu sendiri, dengan kulit gelap kebiruan yang memancarkan cahaya ilahi. Seketika, seluruh penjaga penjara tertidur lelap, pintu-pintu penjara terbuka dengan sendirinya, dan belenggu yang mengikat Dewaki serta Basudewa terlepas.

Suara gaib kembali terdengar, memerintahkan Basudewa untuk segera membawa bayi itu ke seberang Sungai Yamuna, ke desa Gokul, dan menukarnya dengan bayi perempuan yang baru saja dilahirkan oleh Yasoda, istri kepala suku penggembala Nanda. Malam itu, hujan turun deras dan Sungai Yamuna meluap. Namun, saat Basudewa melangkah membawa keranjang berisi bayi Krisna di atas kepalanya, air sungai surut memberi jalan, dan Sesa Naga, ular ilahi, memayungi mereka dari hujan lebat.

Basudewa tiba di rumah Nanda, menemukan semua orang tertidur. Ia menukar bayi Krisna dengan bayi perempuan Yasoda (yang merupakan manifestasi dari Yogamaya, kekuatan ilahi) dan segera kembali ke penjara Mathura sebelum fajar menyingsing. Pintu penjara tertutup kembali, belenggu terpasang, dan para penjaga terbangun. Bayi perempuan itu menangis, memberitahu Kangsa tentang kelahirannya. Ketika Kangsa hendak membunuhnya, bayi itu melesat ke langit, berubah menjadi Dewi Yogamaya, dan berkata, "Orang yang akan membunuhmu telah lahir dan berada di tempat yang aman!" Kangsa terkejut dan ketakutan, namun ia tidak tahu di mana inkarnasi mautnya itu berada.

 

Krisna tumbuh besar di lingkungan pedesaan Gokul yang damai dan penuh kasih sayang di bawah asuhan Nanda dan Yasoda. Mereka dan seluruh penduduk Gokul tidak mengetahui asal-usul ilahi Krisna, mereka hanya tahu bahwa ia adalah anak yang sangat istimewa, tampan, cerdas, namun juga luar biasa nakal. Krisna kecil sangat menyukai mentega dan dadih susu. Bersama teman-teman penggembalanya, ia seringkali menyelinap masuk ke rumah-rumah para Gopi (wanita pemerah susu dan penggembala) untuk mencuri mentega segar yang disimpan dalam kendi-kendi tanah liat.

Kenakalan Krisna ini, yang dikenal sebagai Makhan Chor (Pencuri Mentega), bukanlah kenakalan biasa. Itu adalah bagian dari lila atau permainan ilahinya, yang membawa sukacita dan kebahagiaan bagi para Gopi, meskipun mereka sering berpura-pura mengadukannya kepada Yasoda. Yasoda, sang ibu angkat, sangat menyayangi Krisna namun juga sering dibuat pusing oleh ulahnya. Suatu ketika, Yasoda mencoba mengikat Krisna pada sebuah lesung kayu besar sebagai hukuman, namun tali apapun tidak cukup panjang untuk mengikat perutnya sampai ia menunjukkan belas kasih. Di lain waktu, ketika Krisna dituduh memakan tanah, Yasoda memaksanya membuka mulut, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat seluruh alam semesta, lengkap dengan bintang, planet, dan galaksi, berada di dalam mulut kecil Krisna.

Sementara itu, Kangsa yang terus merasa terancam, mengirimkan berbagai macam iblis (asura) dalam berbagai wujud untuk mencari dan membunuh bayi yang diramalkan akan menamatkan riwayatnya. Namun, satu per satu, semua utusan Kangsa itu berhasil dikalahkan oleh Krisna kecil dengan kekuatan ilahinya. Ia membunuh iblis wanita Putana yang menyamar sebagai wanita cantik dan mencoba meracuninya dengan air susu beracun. Ia menaklukkan iblis Trinawarta yang datang sebagai angin puting beliung, serta iblis Bakasura yang berwujud bangau raksasa.

Salah satu peristiwa paling terkenal adalah ketika Krisna menaklukkan Kaliya, seekor naga ular berbisa raksasa yang meracuni air Sungai Yamuna, membuat para penggembala dan ternak mereka menderita. Krisna melompat ke sungai, bertarung dengan Kaliya, dan menari di atas kepala-kepala naga itu hingga ia takluk. Krisna tidak membunuh Kaliya, namun memerintahkannya untuk pergi jauh dari Yamuna. Di lain kesempatan, untuk melindungi penduduk Vrindavan (tempat mereka pindah dari Gokul) dari amukan Dewa Indra yang menurunkan hujan badai dahsyat, Krisna mengangkat Bukit Gowardhana dengan jari kelingkingnya selama tujuh hari tujuh malam, menjadikannya payung raksasa bagi seluruh penduduk dan ternak.

 

Beranjak remaja, Krisna tumbuh menjadi pemuda yang luar biasa tampan dengan kulit gelap kebiruan yang memikat, senyum menawan, dan mata yang penuh daya tarik ilahi. Ia adalah seorang penggembala sapi yang ulung, namun keistimewaannya yang paling memukau adalah kemahirannya memainkan seruling bambu (bansuri). Ketika Krisna memainkan serulingnya di bawah pohon rindang di tepi Sungai Yamuna atau di padang rumput Vrindavan, alunan musiknya begitu merdu dan ajaib hingga mampu menghentikan waktu.

Alunan seruling Krisna tidak hanya memikat hewan-hewan seperti sapi dan rusa yang akan berhenti merumput untuk mendengarkan, atau burung-burung yang akan hinggap mendekat, tetapi juga secara khusus memikat hati para Gopi, para gadis dan wanita penggembala sapi di Vrindavan. Mereka merasakan panggilan jiwa yang tak tertahankan untuk datang kepada Krisna setiap kali mendengar suara serulingnya, terutama di malam hari saat bulan purnama bersinar terang. Mereka meninggalkan rumah, suami, dan anak-anak mereka, berlari menuju sumber suara itu, didorong oleh cinta bhakti yang murni kepada Sang Ilahi.

Di antara para Gopi, ada satu sosok yang paling istimewa, yaitu Radha. Radha dianggap sebagai kekasih utama Krisna, perwujudan dari energi kesenangan ilahi (hladini shakti) dan simbol jiwa individu (jivatma) yang merindukan penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Paramatma), yang direpresentasikan oleh Krisna. Kisah cinta antara Radha dan Krisna adalah alegori cinta ilahi yang paling agung dalam tradisi Bhakti Hinduisme. Cinta mereka murni, melampaui batas-batas duniawi, penuh kerinduan, pengabdian, dan kebahagiaan spiritual.

Pada malam-malam bulan purnama yang indah, Krisna akan memanggil para Gopi dengan serulingnya untuk melakukan tarian suci yang dikenal sebagai Rasa Lila. Dalam tarian ini, Krisna secara ajaib menggandakan dirinya sehingga setiap Gopi merasa bahwa Krisna menari bersamanya secara pribadi. Rasa Lila adalah puncak dari permainan ilahi Krisna di Vrindavan, melambangkan tarian kosmik antara Tuhan dan jiwa-jiwa yang mengasihinya, sebuah perayaan cinta, keindahan, dan kebahagiaan tertinggi.

Pesona Krisna sebagai pemuda penggembala yang ilahi, dengan serulingnya yang magis dan cintanya kepada para Gopi, khususnya Radha, menjadi bagian yang paling disayangi dan dirayakan dalam legenda hidupnya. Masa-masa di Vrindavan ini menunjukkan aspek Krisna sebagai perwujudan cinta kasih dan keindahan ilahi yang absolut, menarik jiwa-jiwa untuk kembali kepada sumber mereka melalui jalan pengabdian (bhakti yoga).

 

Meskipun kehidupan di Vrindavan penuh dengan kebahagiaan dan cinta ilahi, takdir Krisna memanggilnya untuk tugas yang lebih besar. Waktunya telah tiba baginya untuk memenuhi ramalan dan mengakhiri kezaliman pamannya, Kangsa, di Mathura. Akrura, seorang menteri Kangsa yang sebenarnya adalah penyembah Wisnu, diutus untuk menjemput Krisna dan kakaknya, Balarama, ke Mathura dengan dalih mengundang mereka untuk menghadiri sebuah upacara persembahan besar dan pertandingan gulat.

Perpisahan Krisna dengan Vrindavan, Nanda, Yasoda, para sahabat penggembala, dan terutama para Gopi serta Radha, adalah momen yang sangat mengharukan. Ia berjanji akan selalu ada di hati mereka, meskipun secara fisik ia harus pergi. Dengan berat hati namun penuh tekad, Krisna dan Balarama berangkat menuju Mathura bersama Akrura. Sepanjang perjalanan, Akrura menyaksikan berbagai tanda keilahian Krisna.

Setibanya di Mathura, Krisna dan Balarama segera menjadi pusat perhatian. Mereka dengan mudah mengalahkan seekor gajah kerajaan yang gila bernama Kuwalayapida, yang sengaja dilepas oleh Kangsa untuk membunuh mereka. Mereka juga mematahkan busur suci milik Dewa Siwa yang dijaga ketat, menunjukkan kekuatan mereka yang luar biasa. Berita tentang kedatangan dan kehebatan dua pemuda dari Vrindavan ini menyebar cepat, menimbulkan harapan di hati rakyat Mathura yang tertindas dan ketakutan di hati Kangsa.

Pada hari pertandingan gulat yang telah diatur oleh Kangsa, Krisna dan Balarama dihadapkan pada dua pegulat terkuat dan paling kejam milik Kangsa, yaitu Chanura dan Mushtika. Meskipun Krisna dan Balarama masih sangat muda dibandingkan lawan mereka, dengan kekuatan dan kelincahan ilahi, mereka berhasil mengalahkan dan membunuh kedua pegulat raksasa itu di hadapan seluruh rakyat Mathura dan Kangsa sendiri.

Melihat kekalahan pegulat andalannya, Kangsa murka dan memerintahkan penangkapan Krisna, Balarama, serta Basudewa dan Nanda. Namun, sebelum perintah itu dilaksanakan, Krisna melompat ke arena kerajaan, menyeret Kangsa dari singgasananya, dan dalam pertarungan singkat namun menentukan, Krisna membunuh pamannya yang lalim itu, tepat seperti yang telah diramalkan. Kematian Kangsa disambut sorak sorai kelegaan oleh rakyat Mathura. Krisna kemudian membebaskan orang tua kandungnya, Dewaki dan Basudewa, dari penjara, serta memulihkan kakeknya, Ugrasena, ke takhta Mathura. Keadilan dan kedamaian akhirnya kembali ke kerajaan itu.

 

Setelah kematian Kangsa, kedamaian di Mathura tidak berlangsung lama. Jarasandha, raja Magadha yang perkasa dan ayah mertua dari dua istri Kangsa, merasa sangat marah atas kematian menantunya. Ia menganggap Krisna sebagai ancaman dan bersumpah untuk membalas dendam. Jarasandha, dengan bala tentara yang sangat besar, menyerang Mathura berkali-kali, konon hingga tujuh belas kali. Meskipun Krisna dan Balarama selalu berhasil memukul mundur serangan Jarasandha, peperangan yang terus-menerus ini menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat Mathura.

Menyadari bahwa pertempuran melawan Jarasandha akan terus berlanjut dan membahayakan keselamatan rakyatnya, kaum Yadawa, Krisna mengambil keputusan strategis. Ia memutuskan untuk memindahkan seluruh rakyatnya dari Mathura ke tempat baru yang lebih aman dan terlindungi. Dengan kekuatan ilahinya dan bantuan dari Wiswakarma (arsitek para dewa), Krisna membangun sebuah kota kerajaan baru yang megah dan spektakuler di sebuah pulau di lepas pantai barat India, di wilayah Saurashtra (sekarang Gujarat).

Kota baru ini dinamakan Dwaraka, yang berarti "Gerbang". Dwaraka dirancang sebagai benteng yang tak tertembus, dikelilingi oleh lautan, dengan tembok-tembok tinggi, gerbang-gerbang megah, istana-istana indah yang terbuat dari emas dan permata, taman-taman yang asri, serta fasilitas publik yang lengkap. Kota ini menjadi ibu kota baru bagi bangsa Yadawa, tempat mereka bisa hidup damai dan makmur di bawah kepemimpinan Krisna sebagai seorang pangeran, raja, sekaligus pemandu spiritual.

Di Dwaraka, Krisna menjalani kehidupan sebagai seorang kepala negara dan kepala rumah tangga. Ia dikenal sebagai raja yang adil, bijaksana, dan sangat peduli pada kesejahteraan rakyatnya. Ia juga menikah dengan beberapa putri raja, yang menjadi ratu-ratu utamanya. Pernikahan yang paling terkenal adalah dengan Rukmini, putri Raja Bhishmaka dari Vidarbha. Rukmini jatuh cinta pada Krisna setelah mendengar cerita tentang keagungannya dan mengirim surat rahasia memintanya untuk menculiknya sebelum ia dipaksa menikah dengan Shishupala. Krisna datang dan membawa lari Rukmini dengan kereta perangnya, menjadikannya permaisuri utama.

Selain Rukmini, Krisna juga menikah dengan Satyabama, putri Satrajit yang terkenal karena permata Syamantaka, dan Jambawati, putri Raja Beruang Jambawan. Krisna memiliki banyak istri lain dan ribuan anak, yang melambangkan kelimpahan dan kemakmuran pemerintahannya di Dwaraka. Kehidupan di Dwaraka menunjukkan aspek Krisna sebagai pelindung Dharma, seorang negarawan ulung, dan raja yang ideal, yang membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

 

Meskipun memerintah di Dwaraka, pengaruh dan keterlibatan Krisna meluas ke seluruh Bharatawarsha (India kuno), terutama dalam konflik besar antara dua keluarga bangsawan dari Dinasti Kuru: Pandawa dan Kurawa. Krisna memiliki hubungan kekerabatan dengan kedua belah pihak. Kunti, ibu dari tiga Pandawa tertua (Yudhistira, Bhima, Arjuna), adalah adik perempuan dari ayah Krisna, Basudewa. Oleh karena itu, Pandawa adalah sepupu Krisna. Di sisi lain, istri Duryodhana, pemimpin Kurawa, juga memiliki hubungan kerabat dengan keluarga Krisna.

Sejak awal perselisihan, Krisna selalu menunjukkan keberpihakannya pada Pandawa, yang ia anggap berada di jalan kebenaran (Dharma). Ia menjadi sahabat karib, penasihat utama, dan pelindung bagi kelima Pandawa bersaudara, terutama Arjuna, yang memiliki hubungan spiritual yang sangat mendalam dengannya. Krisna hadir dalam banyak momen penting dalam kehidupan Pandawa, mulai dari sayembara Drupadi, pembangunan istana Indraprastha, hingga permainan dadu yang curang yang menyebabkan Pandawa kehilangan kerajaan dan harus menjalani pengasingan selama tiga belas tahun.

Setelah masa pengasingan berakhir, Pandawa berhak meminta kembali kerajaan mereka sesuai perjanjian. Namun, Kurawa yang licik dan serakah, dipimpin oleh Duryodhana, menolak memberikan hak Pandawa, bahkan sejengkal tanah pun. Krisna berusaha keras untuk mencegah perang saudara yang mengerikan ini. Ia pergi ke Hastinapura, ibu kota Kurawa, sebagai duta perdamaian Pandawa. Di sana, ia mencoba meyakinkan Duryodhana dan para tetua Kurawa seperti Bisma, Drona, dan Widura untuk berdamai dan mengembalikan hak Pandawa.

Namun, upaya damai Krisna gagal total. Duryodhana yang keras kepala dan dibutakan oleh kesombongan menolak semua usulan damai, bahkan mencoba menangkap Krisna. Krisna kemudian menunjukkan sebagian kecil dari bentuk semestanya (Wiswarupa) di balairung istana, membuat semua yang hadir terkejut dan ketakutan, sebelum akhirnya kembali ke pihak Pandawa dengan berita bahwa perang tidak terhindarkan.

Menjelang perang besar Bharatayuddha di medan Kurusetra, kedua belah pihak mencari dukungan Krisna. Krisna memberikan pilihan: satu pihak bisa mendapatkan seluruh pasukan Narayani miliknya yang perkasa, sementara pihak lain akan mendapatkan dirinya sendiri, namun ia bersumpah tidak akan mengangkat senjata dalam perang itu. Arjuna, mewakili Pandawa, memilih Krisna sebagai kusir keretanya. Duryodhana, mewakili Kurawa, dengan senang hati memilih pasukan Narayani. Keputusan ini menunjukkan betapa pentingnya kehadiran dan bimbingan ilahi Krisna bagi Pandawa, melebihi kekuatan militer manapun.

 

Momen paling krusial dan paling dihormati dalam keterlibatan Krisna di Mahabharata terjadi tepat sebelum Perang Bharatayuddha dimulai di medan luas Kurusetra. Ketika kedua pasukan besar, Pandawa dan Kurawa, telah berbaris rapi saling berhadapan, siap untuk memulai pertempuran, Arjuna, sang ksatria Pandawa terhebat, meminta Krisna, kusirnya, untuk membawa keretanya ke tengah-tengah medan perang.

Dari posisi itu, Arjuna melihat barisan musuh di hadapannya. Betapa terkejut dan sedihnya ia ketika menyadari bahwa di pihak Kurawa berdiri para guru yang ia hormati (Drona dan Krepa), kakek yang ia sayangi (Bisma), saudara-saudara sepupu, paman, dan kerabat lainnya. Memikirkan bahwa ia harus membunuh orang-orang yang ia cintai dan hormati demi sebuah kerajaan membuatnya dilanda keraguan hebat, kesedihan mendalam, dan keputusasaan. Tubuhnya gemetar, mulutnya kering, dan busur Gandiwa terlepas dari tangannya. Arjuna menyatakan kepada Krisna bahwa ia tidak sanggup berperang.

Di saat genting inilah Krisna beralih peran dari sekadar kusir dan sahabat menjadi seorang Guru Agung (Jagadguru). Ia memberikan wejangan spiritual yang mendalam dan abadi kepada Arjuna, yang kemudian dikenal sebagai Bhagawad Gita ("Nyanyian Tuhan"). Wejangan ini merupakan inti sari ajaran Weda dan Upanisad, disampaikan dalam bentuk dialog antara Krisna dan Arjuna, terdiri dari 700 sloka dalam 18 bab.

Dalam Bhagawad Gita, Krisna menjelaskan berbagai konsep fundamental filsafat Hindu. Ia mengajarkan tentang sifat sejati jiwa (Atman) yang abadi, tidak pernah lahir dan tidak pernah mati, berbeda dari tubuh fisik yang bersifat sementara. Ia menjelaskan pentingnya menjalankan dharma (kewajiban) sesuai dengan kedudukan masing-masing tanpa terikat pada hasil (Karma Yoga). Ia menguraikan berbagai jalan untuk mencapai pembebasan (Moksa) dan penyatuan dengan Yang Maha Kuasa, termasuk jalan pengetahuan (Jnana Yoga) dan jalan pengabdian atau cinta kasih (Bhakti Yoga).

Krisna menekankan pentingnya bertindak tanpa pamrih, menyerahkan segala hasil perbuatan kepada Awloh, dan melihat kehadiran-Nya dalam segala makhluk. Untuk menghilangkan keraguan Arjuna sepenuhnya dan menunjukkan sifat ilahinya, Krisna menganugerahkan penglihatan ilahi kepada Arjuna dan menampakkan wujud semestanya yang agung dan menakjubkan (Wiswarupa Darshana), di mana seluruh alam semesta terlihat berada di dalam diri-Nya. Ajaran Bhagawad Gita berhasil membangkitkan kembali semangat Arjuna untuk menjalankan tugasnya sebagai ksatria dan berperang demi menegakkan kebenaran dan keadilan.

 

Setelah Perang Bharatayuddha berakhir dengan kemenangan Pandawa, Krisna kembali ke Dwaraka dan memerintah dengan damai selama bertahun-tahun. Namun, kejayaan bangsa Yadawa tidak berlangsung selamanya. Sebuah kutukan menimpa mereka akibat kesombongan beberapa pangeran Yadawa yang menghina para resi agung. Kutukan itu menyatakan bahwa bangsa Yadawa akan saling menghancurkan satu sama lain dengan senjata yang lahir dari sebuah alu besi terkutuk. Krisna mengetahui hal ini namun menerima takdir tersebut sebagai bagian dari lila ilahi.

Pada suatu perayaan di pantai Prabhasa, para pangeran Yadawa mabuk berat dan mulai bertikai hebat. Pertikaian itu dengan cepat berubah menjadi pertempuran massal yang brutal, di mana mereka saling membunuh menggunakan alang-alang tajam yang tumbuh dari serbuk alu besi terkutuk. Krisna dan Balarama menyaksikan kehancuran kaum mereka sendiri dengan sedih namun pasrah. Balarama kemudian bermeditasi dan meninggalkan tubuhnya sebagai ular putih raksasa menuju lautan. Krisna, menyadari bahwa misinya di bumi telah selesai, menyendiri dan duduk bermeditasi di bawah pohon di hutan.

Saat itulah, seorang pemburu bernama Jara, yang sedang berburu rusa, salah mengira telapak kaki Krisna yang terlihat di antara dedaunan sebagai seekor rusa. Ia melepaskan panahnya dan mengenai tumit Krisna. Tumit adalah satu-satunya bagian tubuh Krisna yang rentan, karena sebuah kutukan dari Resi Durwasa (atau dalam versi lain, terkait kutukan Gandari setelah perang). Ketika Jara menyadari kesalahannya yang fatal, ia sangat menyesal dan memohon ampun. Krisna dengan penuh welas asih memaafkan Jara, menjelaskan bahwa ini semua adalah bagian dari rencana ilahi dan takdirnya. Krisna kemudian meninggalkan tubuh fananya dan kembali ke kediaman abadinya, Waikuntha.

Kisah hidup Krisna, dari kelahirannya yang ajaib hingga wafatnya yang penuh makna, sarat dengan pelajaran moral dan spiritual yang abadi. Ia mengajarkan pentingnya menegakkan dharma (kebenaran dan kewajiban) dalam segala situasi, bahkan jika harus menghadapi kesulitan atau konflik. Ajaran Bhagawad Gita yang disampaikannya menjadi pedoman hidup bagi jutaan orang, menekankan tindakan tanpa pamrih, pengendalian diri, kebijaksanaan, dan yang terpenting, cinta kasih serta pengabdian (bhakti) kepada Awloh. Krisna menunjukkan bahwa Tuhan dapat menjelma dalam wujud manusia untuk melindungi orang baik, menghukum orang jahat, dan memulihkan keseimbangan alam semesta.

Kehidupan Krisna juga mengingatkan kita bahwa bahkan inkarnasi Tuhan pun tunduk pada hukum karma dan takdir dalam permainan kosmik (lila). Kehancuran bangsa Yadawa dan wafatnya Krisna sendiri menunjukkan sifat sementara dari segala sesuatu di dunia material, serta pentingnya kesadaran spiritual dan pelepasan dari ikatan duniawi. Warisan Krisna terus hidup melalui ajarannya yang mendalam, kisah-kisahnya yang inspiratif, dan cinta kasih ilahi yang ia pancarkan, membimbing umat manusia menuju pencerahan dan kebahagiaan sejati.

Demikianlah kisah ini diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis