Legenda Arjuna dan Pandawa (India)
Di Kerajaan Hastinapura,
tersebutlah Prabu Pandu Dewanata yang memiliki dua permaisuri, Dewi Kunti
Talibrata dan Dewi Madrim. Akibat sebuah kutukan, Pandu tidak dapat memiliki
keturunan secara langsung. Namun, Dewi Kunti memiliki anugerah mantra sakti Adityahredaya
yang dapat memanggil dewa untuk mendapatkan putra. Dari anugerah Dewa Indra,
Dewa Perang dan Cuaca, lahirlah putra ketiga Kunti yang diberi nama Arjuna.
Kelahirannya disambut gembira, membawa harapan bagi trah Bharata.
Arjuna tumbuh bersama keempat
saudaranya: Yudhistira, Bhima (dari Kunti), serta si kembar Nakula dan Sadewa
(dari Madrim). Kelima bersaudara ini dikenal sebagai Pandawa. Mereka dididik
bersama sepupu mereka, seratus Korawa putra Destarastra (kakak Pandu yang
buta), di bawah bimbingan seorang guru yang sama, yaitu Begawan Drona, seorang
ahli ilmu perang yang tiada bandingannya kala itu.
Sejak usia dini, bakat Arjuna
dalam ilmu keprajuritan, khususnya memanah, sudah terlihat sangat menonjol. Ia
memiliki fokus yang luar biasa, ketangkasan alami, dan dedikasi yang tinggi
dalam berlatih. Begawan Drona melihat potensi besar dalam diri muridnya ini. Ia
sering memberikan perhatian khusus dan ujian-ujian yang lebih sulit kepada
Arjuna untuk mengasah kemampuannya hingga batas maksimal.
Suatu ketika, Drona menguji
murid-muridnya dengan meminta mereka memanah seekor burung kayu yang diletakkan
di atas pohon. Ketika ditanya apa yang mereka lihat, murid lain menjawab
melihat pohon, dahan, daun, atau burung secara keseluruhan. Hanya Arjuna yang
menjawab, "Saya hanya melihat mata burung itu, Guru." Dengan jawaban
itu, Drona tahu bahwa Arjuna memiliki konsentrasi sempurna yang dibutuhkan
seorang pemanah ulung. Ia pun mengizinkan Arjuna melepaskan panah, dan tepat
mengenai sasaran.
Berkat bakat alami, ketekunan
berlatih, dan bimbingan intensif dari Guru Drona, Arjuna tumbuh menjadi ksatria
pemanah terbaik di seluruh tanah Bharata. Kemahirannya dalam menggunakan busur
dan anak panah menjadi legenda, bahkan para dewa pun mengakui kehebatannya.
Pendidikan ini membentuk dasar karakternya sebagai seorang ksatria yang gagah
berani dan terampil, siap menghadapi takdirnya yang besar.
Setelah Pandawa berhasil
menyelamatkan diri dari peristiwa kebakaran Laksagraha (istana lilin) yang
direncanakan oleh Korawa, mereka hidup dalam penyamaran bersama ibu mereka,
Dewi Kunti. Suatu hari, terdengar kabar bahwa Raja Drupada dari Kerajaan
Panchala mengadakan sayembara agung untuk mencari jodoh bagi putrinya yang
cantik jelita, Dewi Drupadi. Sayembara ini bukanlah sayembara biasa.
Syaratnya sangat berat: para
ksatria yang ikut serta harus mampu mengangkat busur pusaka yang luar biasa
berat dan besar, lalu melepaskan anak panah tepat mengenai sasaran berupa mata
ikan buatan yang berputar, namun hanya boleh membidik melalui pantulan
bayangannya di dalam wadah berisi minyak yang diletakkan di bawah. Banyak raja
dan pangeran dari berbagai negeri datang mencoba peruntungan, termasuk para
Korawa dan sekutunya seperti Karna.
Satu per satu, para ksatria
perkasa mencoba mengangkat busur pusaka itu, namun tak seorang pun yang
berhasil, jangankan membidik sasaran. Suasana menjadi tegang, Raja Drupada
mulai khawatir putrinya tidak akan mendapatkan jodoh yang sepadan. Di tengah
keramaian itu, muncullah lima pemuda Brahmana (kaum pendeta) yang tak lain
adalah Pandawa dalam penyamaran. Salah satu dari mereka, yang berpenampilan
paling gagah, melangkah maju.
Pemuda Brahmana itu adalah
Arjuna. Dengan tenang dan penuh keyakinan, ia mendekati busur pusaka. Dengan
mudah ia mengangkat busur yang tak terangkat oleh ksatria lain. Semua mata
terbelalak keheranan. Arjuna kemudian memasang anak panah, berkonsentrasi penuh
pada bayangan mata ikan di wadah minyak, lalu melepaskan panahnya. Anak panah
melesat cepat dan tepat menembus mata ikan yang berputar itu. Sorak sorai
membahana.
Arjuna dinyatakan sebagai
pemenang sayembara dan berhak mempersunting Dewi Drupadi. Kemenangan ini tidak
hanya menunjukkan kehebatan Arjuna yang tak tertandingi dalam memanah, tetapi
juga mengangkat kembali martabat Pandawa setelah masa-masa sulit. Meskipun
kemudian terjadi sedikit kerumitan karena ucapan Dewi Kunti yang tanpa sengaja
membuat Drupadi menjadi istri kelima Pandawa, peristiwa sayembara ini menjadi
titik penting dalam perjalanan hidup Arjuna dan Pandawa.
Kebahagiaan Pandawa setelah
mendapatkan kembali sebagian kerajaan dan menikahi Drupadi tidak berlangsung
lama. Melalui permainan dadu yang licik, dirancang oleh Sangkuni, paman para
Korawa, Yudhistira kalah telak. Akibat kekalahan itu, Pandawa harus menyerahkan
kerajaan mereka dan menjalani hukuman pengasingan selama dua belas tahun di
hutan, diikuti dengan satu tahun penyamaran tanpa boleh dikenali. Jika
penyamaran mereka terbongkar, mereka harus mengulang pengasingan lagi.
Masa pengasingan di hutan adalah
periode yang penuh tantangan bagi Pandawa dan Drupadi. Mereka harus hidup
sederhana, meninggalkan segala kemewahan istana, dan menghadapi berbagai
rintangan alam serta gangguan dari makhluk-makhluk hutan. Meskipun hidup dalam
kesulitan, mereka tetap teguh memegang dharma (kebenaran dan kewajiban) dan
saling menguatkan satu sama lain. Masa ini menjadi ujian berat bagi karakter
dan kesabaran mereka.
Bagi Arjuna, masa pengasingan ini
bukan hanya masa penderitaan, tetapi juga kesempatan untuk menempa diri secara
spiritual dan menambah kesaktian. Menyadari bahwa perang besar melawan Korawa
kemungkinan tak terhindarkan di masa depan, Arjuna memutuskan untuk melakukan
tapa brata yang sangat khusyuk di pegunungan Himalaya. Ia memuja Dewa Siwa
untuk memohon senjata pusaka.
Dalam tapanya, Arjuna diuji
langsung oleh Dewa Siwa yang menyamar sebagai seorang pemburu suku Kirata.
Terjadi perselisihan mengenai seekor babi hutan yang mereka panah bersamaan.
Perselisihan ini berujung pada pertarungan sengit antara Arjuna dan sang Kirata.
Arjuna mengerahkan seluruh kemampuannya, namun sang Kirata terlalu tangguh.
Ketika Arjuna menyadari lawannya adalah Dewa Siwa, ia segera bersujud. Terkesan
oleh kegigihan dan kesatriaan Arjuna, Dewa Siwa menganugerahinya senjata pusaka
sakti bernama Panah Pashupatastra.
Tidak berhenti di situ, Arjuna
juga diundang oleh ayahnya, Dewa Indra, ke kahyangan (Swargaloka). Di sana, ia
belajar berbagai ilmu perang dan seni dari para dewa dan bidadari, serta
mendapatkan berbagai senjata sakti lainnya seperti busur Gandiva yang
legendaris dan kereta perang dengan bendera bergambar Hanoman. Masa pengasingan
ini, meskipun berat, telah mempersiapkan Arjuna menjadi ksatria yang lebih kuat
dan bijaksana untuk menghadapi pertempuran besar yang menantinya.
Setelah tiga belas tahun masa
pengasingan dan penyamaran berhasil dilalui tanpa terbongkar, Pandawa berhak
meminta kembali kerajaan mereka sesuai perjanjian. Yudhistira, yang cinta
damai, mengutus Kresna sebagai duta ke Hastinapura untuk merundingkan
pengembalian hak Pandawa secara damai. Kresna adalah sepupu Pandawa dan Korawa,
namun ia lebih dekat dan berpihak pada kebenaran yang diusung Pandawa. Ia juga
merupakan titisan Dewa Wisnu (Allah) yang turun ke dunia.
Namun, Duryodhana, pemimpin
Korawa yang keras kepala dan penuh iri dengki, menolak mentah-mentah permintaan
Pandawa. Bahkan ia dengan sombong berkata tidak akan memberikan tanah sejengkal
ujung jarum pun kepada Pandawa. Dengan penolakan ini, segala upaya damai
menemui jalan buntu. Perang besar antara Pandawa dan Korawa, yang dikenal
sebagai Bharatayuddha, menjadi tak terelakkan lagi.
Kedua belah pihak mulai
mengumpulkan sekutu dan mempersiapkan pasukan mereka. Pandawa, meskipun jumlah
pasukannya lebih kecil, memiliki ksatria-ksatria tangguh dan berada di pihak
dharma (kebenaran). Arjuna, dengan segala kesaktian dan senjata pusaka yang
diperolehnya selama pengasingan, menjadi salah satu pilar utama dan harapan
terbesar bagi pihak Pandawa dalam perang yang akan datang. Keahlian memanahnya
dianggap sebagai kunci kemenangan.
Menjelang perang, Kresna
memberikan pilihan kepada Arjuna dan Duryodhana: memilih dirinya seorang diri
namun tidak akan ikut berperang, atau memilih seluruh pasukan kuat miliknya,
laskar Narayani. Arjuna dengan bijaksana memilih Kresna sebagai penasihat dan
kusir keretanya, sementara Duryodhana dengan gembira memilih pasukan Narayani.
Keputusan Arjuna ini sangat tepat, karena bimbingan Kresna yang bijaksana akan
sangat menentukan jalannya perang.
Dengan Kresna di sisinya sebagai
kusir dan penasihat, Arjuna mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Ia
mengasah kembali kemahirannya menggunakan busur Gandiva, memeriksa kesiapan
kereta perangnya, dan merenungkan tugas berat yang menantinya. Ia sadar bahwa
perang ini akan menjadi pertarungan melawan saudara, guru, dan kakeknya
sendiri. Beban dharma sebagai seorang ksatria untuk menegakkan kebenaran terasa
begitu berat di pundaknya.
Hari penentuan pun tiba. Di
padang Kurukshetra yang luas, dua pasukan besar berdiri berhadapan, siap
memulai pertumpahan darah terbesar dalam sejarah Bharata. Trompet perang dan
genderang ditabuh, suasana tegang mencekam. Kereta perang Arjuna, dikusiri oleh
Kresna, maju ke tengah-tengah medan laga, di antara kedua pasukan yang siap
bertempur.
Arjuna meminta Kresna untuk
berhenti sejenak. Ia memandang ke arah barisan musuh, pihak Korawa. Apa yang
dilihatnya membuat hatinya bergetar hebat. Di sana berdiri Bhisma, kakek yang
sangat dihormatinya. Di sana berdiri Begawan Drona, guru yang telah
mengajarinya segala ilmu. Di sana berdiri saudara-saudara sepupunya, para
Korawa, serta sahabat dan kerabat lainnya yang kini menjadi lawannya.
Tiba-tiba, Arjuna dilanda
keraguan yang luar biasa. Lututnya lemas, busur Gandiva terlepas dari
genggamannya. Hatinya dipenuhi kesedihan dan kebingungan moral. "Oh,
Kresna," keluhnya dengan suara lirih, "Bagaimana mungkin aku
mengangkat senjata melawan kakekku, guruku, dan saudara-saudaraku sendiri?
Kemenangan macam apa yang akan kudapatkan dengan membunuh mereka? Lebih baik
aku mati daripada melakukan dosa ini."
Melihat Arjuna yang putus asa dan
enggan berperang, Kresna tersenyum bijaksana. Di tengah medan perang yang siap
bergolak itulah, Kresna memberikan wejangan spiritual yang sangat mendalam
kepada Arjuna. Wejangan ini terangkum dalam kitab suci Bhagavad Gita (Nyanyian
Tuhan). Kresna menjelaskan tentang hakikat jiwa (atma) yang abadi dan tidak
dapat dibunuh, tentang pentingnya melaksanakan dharma (kewajiban) sebagai
seorang ksatria tanpa terikat pada hasil (karma yoga), tentang berbagai jalan
menuju pencerahan, dan tentang sifat Ilahi.
Kresna menyadarkan Arjuna bahwa
perang ini adalah perang antara dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan).
Sebagai seorang ksatria, adalah kewajiban Arjuna untuk bertempur di pihak
kebenaran, meskipun lawannya adalah orang-orang yang ia cintai. Keraguan Arjuna
perlahan sirna, digantikan oleh pemahaman yang mendalam tentang tugasnya. Ia
mengambil kembali busur Gandiva, berdiri tegak, dan berkata kepada Kresna,
"Keraguanku telah hilang, oh Kresna. Aku siap melaksanakan
perintah-Mu."
Dengan semangat yang telah
dibangkitkan kembali oleh wejangan Kresna, Arjuna terjun ke dalam kancah Perang
Bharatayuddha dengan gagah berani. Didampingi Kresna sebagai kusir yang ahli
strategi, kereta perang Arjuna melaju kencang menebar maut di barisan Korawa.
Busur Gandiva di tangannya seolah hidup, melepaskan ribuan anak panah dengan
kecepatan dan ketepatan yang mengerikan, menjatuhkan banyak ksatria musuh.
Arjuna menjadi momok yang
menakutkan bagi pihak Korawa. Ia terlibat dalam banyak duel sengit melawan para
ksatria terhebat mereka. Meskipun hatinya kadang masih berduka, ia tetap
menjalankan tugasnya sebagai ksatria. Salah satu momen paling emosional adalah
ketika ia harus menghadapi kakeknya, Resi Bhisma. Dengan berat hati dan
strategi menggunakan Srikandi sebagai tameng (sesuai sumpah Bhisma sendiri),
Arjuna melepaskan panah-panah yang melumpuhkan Bhisma, membuatnya roboh di
"ranjang panah".
Peran Arjuna juga krusial dalam
menjatuhkan gurunya, Begawan Drona. Meskipun bukan Arjuna yang membunuhnya
secara langsung, serangan-serangan Arjuna dan pasukannya membuat Drona
kewalahan. Gugurnya Drona terjadi setelah ia mendengar kabar (yang sebagian
benar, sebagian bohong) tentang kematian putranya, Aswatama, yang membuatnya
kehilangan semangat hidup dan meletakkan senjata. Selain itu, Arjuna juga
berhasil mengalahkan Jayadrata, ipar para Korawa, yang menjadi penyebab
kematian Abimanyu (putra Arjuna). Kematian Jayadrata adalah hasil sumpah Arjuna
yang dibantu oleh strategi cerdik Kresna mengelabui matahari.
Puncak kepahlawanan Arjuna
terjadi dalam duelnya melawan Karna, saudara seibu yang selama ini menjadi
rival terbesarnya di pihak Korawa. Pertarungan antara dua pemanah terbaik ini
berlangsung sangat dahsyat. Dengan bantuan strategi Kresna yang mengingatkan
kutukan-kutukan yang menimpa Karna dan memanfaatkan momen ketika roda kereta
Karna terperosok, Arjuna akhirnya berhasil melepaskan panah Pasopati (versi
lain menyebut panah lain) yang mengakhiri riwayat Karna.
Kemenangan-kemenangan Arjuna atas
para pahlawan utama Korawa ini sangat menentukan jalannya perang. Ia
membuktikan dirinya sebagai ksatria pilar utama Pandawa, yang keberanian,
keahlian, dan keteguhan hatinya (setelah mendapat wejangan Kresna) membawa
Pandawa selangkah demi selangkah menuju kemenangan akhir dalam Perang
Bharatayuddha yang berlangsung selama 18 hari itu.
Setelah pertempuran sengit selama
delapan belas hari, Perang Bharatayuddha akhirnya berakhir. Medan Kurukshetra
menjadi saksi bisu atas gugurnya jutaan ksatria dari kedua belah pihak. Korawa
dan seluruh sekutunya tewas, menyisakan duka mendalam meskipun kemenangan
berada di pihak Pandawa. Dharma berhasil ditegakkan, namun dengan harga yang
sangat mahal.
Dengan kemenangan ini,
Yudhistira, kakak tertua Pandawa yang terkenal bijaksana dan jujur, dinobatkan
sebagai Raja Hastinapura. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana, didampingi
oleh adik-adiknya. Dimulailah era baru yang damai di bawah pemerintahan
Pandawa, meskipun bayang-bayang kesedihan akibat perang masih terasa. Upacara
pemakaman besar-besaran dilakukan untuk menghormati semua ksatria yang gugur.
Arjuna, sebagai salah satu
pahlawan terbesar perang, mendapatkan penghormatan yang tinggi. Ia kembali
menjalankan tugasnya sebagai seorang pangeran dan ksatria pelindung kerajaan.
Ia membantu Yudhistira dalam menjalankan roda pemerintahan, menjaga keamanan
negeri, dan membimbing generasi penerus. Kehidupannya kembali normal, berkumpul
dengan istri-istrinya (termasuk Drupadi dan Subadra, adik Kresna) serta
putra-putranya yang tersisa.
Meskipun perang telah usai,
kenangan akan pertempuran dan kehilangan orang-orang terkasih tetap membekas di
hati Arjuna dan para Pandawa lainnya. Mereka merenungkan makna kemenangan dan
pengorbanan yang telah dilakukan. Di bawah bimbingan Resi Vyasa dan Kresna,
mereka berusaha menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan ajaran dharma,
menebus segala dosa yang mungkin terjadi selama perang.
Kehidupan pasca perang adalah
masa pemulihan dan pembangunan kembali. Arjuna, dengan kedewasaan yang
diperoleh dari pengalaman perang dan ajaran Bhagavad Gita, menjadi sosok
ksatria yang lebih bijaksana. Ia tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan
fisiknya, tetapi juga kebijaksanaan spiritual dalam menjalani sisa hidupnya
sebagai pelayan dharma dan rakyat Hastinapura.
Setelah memerintah Hastinapura
selama bertahun-tahun dengan adil dan bijaksana, dan setelah Kresna meninggalkan
dunia fana, Pandawa merasa tugas mereka di dunia telah selesai. Yudhistira
memutuskan untuk menyerahkan tahta kepada Parikesit, cucu Arjuna (putra
Abimanyu). Bersama keempat adiknya dan Drupadi, Yudhistira memutuskan untuk
melakukan Mahaprasthanika, perjalanan suci terakhir menuju puncak Himalaya
untuk mencapai moksa (pembebasan). Seekor anjing setia mengikuti mereka dalam
perjalanan ini, yang kelak diketahui sebagai penjelmaan Dewa Dharma.
Perjalanan menuju puncak Himalaya
sangatlah berat. Satu per satu, rombongan itu mulai berguguran. Yang pertama
jatuh adalah Drupadi, disebutkan karena ia lebih mencintai Arjuna di antara
Pandawa lainnya. Kemudian menyusul Sadewa, yang gugur karena kesombongannya
akan kecerdasannya. Lalu Nakula, yang gugur karena kebanggaannya akan
ketampanannya. Kemudian giliran Arjuna, sang pemanah ulung. Ketika ia jatuh,
Yudhistira menjelaskan bahwa Arjuna gugur karena ia terlalu sombong akan
kemahirannya memanah, merasa tidak ada yang bisa menandinginya di dunia.
Setelah Arjuna, Bhima pun gugur
karena kesombongannya akan kekuatan fisiknya dan sifat rakusnya. Hanya
Yudhistira dan anjing setia itu yang berhasil mencapai gerbang surga. Kisah
perjalanan akhir ini menjadi epilog yang penuh makna, menunjukkan bahwa bahkan
para pahlawan besar pun harus melepaskan segala keterikatan duniawi dan
kesombongan pribadi untuk mencapai tujuan spiritual tertinggi. Kejatuhan Arjuna
menjadi pengingat bahwa kehebatan duniawi bisa menjadi penghalang jika disertai
keangkuhan.
Pelajaran Moral: Legenda Arjuna
kaya akan nilai dan pelajaran moral. Kisahnya menekankan pentingnya menjalankan
dharma atau kewajiban di atas segalanya, bahkan di atas ikatan keluarga,
seperti yang diajarkan dalam Bhagavad Gita. Perjalanan hidupnya menunjukkan
betapa pentingnya memiliki bimbingan spiritual (peran Kresna) dalam menghadapi
dilema moral yang berat. Ia adalah contoh kesetiaan kepada saudara, guru (meski
harus melawannya karena dharma), dan sumpahnya. Namun, kejatuhannya dalam
perjalanan akhir memberikan pelajaran tentang bahaya kesombongan. Sehebat
apapun kemampuan atau pencapaian seseorang, kerendahan hati dan penyerahan diri
kepada Yang Maha Kuasa adalah kunci untuk mencapai tujuan akhir yang mulia.
Kita diajarkan untuk bertindak tanpa pamrih dan mengendalikan hawa nafsu serta
ego.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, segala kebenaran detailnya kita kembalikan kepada Allah, Tuhan
yang Maha Kuasa.
Komentar
Posting Komentar