Misteri Jeritan Merah Terowongan Casablanca (Jakarta)
Di jantung kota metropolitan
Jakarta yang tak pernah tidur, tepatnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan,
berdiri sebuah infrastruktur yang sejatinya dibangun untuk memperlancar arus
lalu lintas: Terowongan Casablanca. Diresmikan sekitar akhir dekade 1980-an,
terowongan ini membelah area yang dulunya dikenal sebagai Tempat Pemakaman Umum
(TPU) Menteng Pulo. Sejak awal pembangunannya yang konon menggusur sebagian
area pemakaman, bisik-bisik mengenai keangkerannya sudah mulai merebak di
antara warga sekitar dan para pekerja proyek. Cerita-cerita mistis seolah
menjadi bagian tak terpisahkan dari beton dan aspal yang membentuknya.
Seiring berjalannya waktu,
reputasi Terowongan Casablanca sebagai salah satu titik paling angker di
ibukota semakin mengakar kuat. Berbagai kisah seram, mulai dari penampakan
sosok gaib hingga kecelakaan aneh yang tak dapat dijelaskan secara logis, kerap
terdengar dari mulut ke mulut. Ada yang mengatakan bahwa arwah-arwah dari
kuburan yang tergusur masih bergentayangan, menuntut balas atau sekadar menunjukkan
eksistensinya. Legenda urban bahkan mengaitkannya dengan tempat pembuangan
mayat korban-korban peristiwa kelam di masa lalu, menambah lapisan misteri dan
kengerian yang menyelimutinya.
Rifqi, seorang karyawan swasta
berusia akhir dua puluhan, adalah salah satu dari ribuan komuter yang setiap
hari melintasi denyut nadi Jakarta. Rute kerjanya dari rumah di kawasan
pinggiran menuju kantornya di pusat bisnis seringkali mengharuskannya melewati
Terowongan Casablanca. Baginya, terowongan itu hanyalah bagian dari rutinitas,
sebuah jalur pintas yang membantunya menghindari kemacetan di beberapa ruas
jalan lain. Ia tahu tentang reputasi seramnya, namun sebagai pribadi yang
cenderung logis, ia tak pernah terlalu memikirkannya.
Namun, jauh di lubuk hatinya yang
paling dalam, setiap kali memasuki mulut terowongan yang gelap dan lembap itu,
terutama saat malam mulai larut, Rifqi tak bisa menampik adanya secercah
perasaan tidak nyaman. Suasana di dalam terowongan memang terasa berbeda; lebih
dingin, lebih sunyi meski deru kendaraan lain terdengar, dan ada aura berat
yang seolah menekan. Ia sering mencoba mengabaikannya, menyibukkan pikiran
dengan musik dari radio mobil atau rencana pekerjaan esok hari.
Kehidupan di Jakarta yang keras
dan cepat seringkali membuat orang melupakan hal-hal di luar nalar. Bagi Rifqi,
cerita hantu Terowongan Casablanca awalnya tak lebih dari sekadar bumbu
percakapan di warung kopi atau bahan candaan di kantor. Ia percaya bahwa selama
ia tidak mengganggu dan menjaga sopan santun, tidak akan ada hal buruk yang
menimpanya. Namun, ia tak pernah menyangka bahwa suatu hari nanti, ia akan
menjadi salah satu dari mereka yang memiliki "kisah pribadi" dengan
penghuni tak kasat mata terowongan legendaris itu.
Sebagai pengguna setia Terowongan
Casablanca, Rifqi tentu tidak asing dengan berbagai cerita horor yang
melingkupinya. Doni, sahabat karibnya di kantor yang juga seorang penggemar
kisah misteri, adalah salah satu sumber utama informasi tersebut. Setiap kali
ada berita atau unggahan viral tentang pengalaman mistis di terowongan itu,
Doni pasti akan menjadi yang pertama membagikannya kepada Rifqi, lengkap dengan
bumbu-bumbu dramatis yang membuat bulu kuduk berdiri. "Eh, Qi, lo baca
nggak nih? Ada yang lihat Neng Merah lagi di Casablanca semalam!" seru
Doni suatu pagi di pantry kantor.
Rifqi biasanya hanya tersenyum
atau menggelengkan kepala, menanggapi antusiasme Doni dengan sikap skeptis.
"Ah, elo, Don. Yang begitu dipercaya. Paling juga orang kurang kerjaan
atau cari sensasi," sahut Rifqi, mencoba terdengar cuek. Namun, tak bisa
dipungkiri, frekuensi cerita yang ia dengar, baik dari Doni, rekan kerja lain,
bahkan dari obrolan pengemudi ojek online yang pernah mengantarnya, perlahan
tapi pasti mulai menanamkan benih kegelisahan kecil dalam benaknya.
Beberapa cerita yang paling
sering ia dengar adalah tentang sosok Kuntilanak Merah yang konon menjadi
penunggu utama terowongan. Sosok ini digambarkan sebagai wanita berambut
panjang dengan pakaian serba merah darah, sering muncul tiba-tiba di hadapan pengendara,
menyebabkan kepanikan dan tak jarang kecelakaan. Ada pula cerita tentang suara
tangisan wanita yang memilukan, bau anyir darah atau wangi kemenyan yang
tiba-tiba menyeruak, hingga gangguan pada kendaraan seperti mesin mati mendadak
atau lampu yang berkedip-kedip tanpa sebab.
"Katanya sih, Qi, kalau
lewat situ malam-malam, apalagi sendirian, harusnya klakson tiga kali buat
'permisi'," Doni pernah menasihati dengan wajah serius. "Biar nggak
diganggu sama 'penunggu'-nya." Rifqi hanya tertawa kecil mendengar itu.
Baginya, membunyikan klakson tanpa alasan justru mengganggu pengendara lain. Ia
tetap pada pendiriannya bahwa semua itu hanyalah mitos yang dibesar-besarkan,
produk dari imajinasi kolektif masyarakat urban yang haus akan sensasi.
Meskipun berusaha menepis,
informasi-informasi tersebut secara tidak sadar terekam dalam memorinya. Setiap
kali ia hendak memasuki terowongan, terutama jika hari sudah gelap dan kondisi
jalanan sepi, potongan-potongan cerita Doni seolah berkelebat di benaknya. Ia
akan sedikit menaikkan volume radio, atau sengaja menelepon seseorang untuk
mengalihkan perhatian, sebuah mekanisme pertahanan diri yang tak ia sadari
sepenuhnya. Ia belum tahu, bahwa tak lama lagi, ia tak hanya akan menjadi
pendengar, tetapi juga saksi mata dari keangkeran Terowongan Casablanca.
Rutinitas Rifqi sebagai karyawan
yang sering pulang larut malam karena tuntutan pekerjaan membuatnya semakin
akrab dengan suasana Terowongan Casablanca di jam-jam sepi. Awalnya, semua
berjalan seperti biasa. Namun, suatu malam di pertengahan minggu, sekitar pukul
sebelas malam, saat ia mengemudikan mobilnya sendirian melintasi terowongan
tersebut, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Ini adalah kali pertama ia merasakan
langsung aura mistis yang selama ini hanya menjadi buah bibir.
Begitu mobilnya memasuki mulut
terowongan yang remang-remang, hidungnya tiba-tiba menangkap bau anyir yang
sangat kuat, seperti bau darah segar yang baru saja tertumpah. Rifqi
mengerutkan kening, mencoba mencari sumber bau tersebut. Ia melirik ke sekeliling,
tidak ada bangkai binatang atau sampah yang bisa menjelaskan aroma busuk itu.
Bau tersebut begitu pekat hingga membuatnya sedikit mual. Anehnya, begitu
mobilnya keluar dari ujung terowongan, bau tersebut lenyap seketika, seolah
terputus oleh batas tak terlihat.
Kejadian itu cukup mengusiknya,
namun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin itu hanya perasaannya saja,
atau ada truk pengangkut daging yang baru saja lewat. Beberapa hari kemudian,
pengalaman aneh lainnya menyusul. Kali ini, bukan bau, melainkan sensasi fisik.
Saat melaju di tengah terowongan yang lengang, tiba-tiba ia merasakan hawa
dingin yang menusuk tulang, padahal AC mobilnya tidak disetel terlalu kencang
dan jendela tertutup rapat. Bulu kuduknya meremang tanpa sebab yang jelas.
Bersamaan dengan hawa dingin itu,
Rifqi merasakan sensasi seperti ada sepasang mata yang sedang mengawasinya
lekat-lekat dari jok belakang mobilnya. Refleks, ia melirik kaca spion tengah.
Tidak ada siapa-siapa. Jok belakang kosong melompong seperti biasanya. Namun,
perasaan diawasi itu begitu nyata dan intens, membuatnya tidak nyaman.
Jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Ia mempercepat laju mobilnya, ingin
segera keluar dari lorong panjang dan gelap itu.
Pengalaman-pengalaman ganjil ini
mulai menggerogoti keyakinan Rifqi akan rasionalitas semata. Ia mulai
bertanya-tanya, apakah cerita-cerita yang selama ini ia anggap omong kosong
ternyata memiliki secuil kebenaran? Ia belum berani menceritakannya pada Doni,
khawatir akan ditertawakan atau malah semakin ditakut-takuti. Ia memilih untuk
menyimpannya sendiri, berharap bahwa itu semua hanyalah kebetulan atau
imajinasinya yang terlalu lelah setelah bekerja seharian. Namun, ia tidak tahu
bahwa ini barulah permulaan dari serangkaian teror yang lebih mengerikan.
Teror yang dialami Rifqi tidak
berhenti pada bau aneh dan perasaan diawasi. Keangkeran Terowongan Casablanca
mulai menunjukkan wujudnya yang lebih nyata. Suatu Jumat malam, Rifqi terpaksa
pulang lebih larut dari biasanya, sekitar pukul satu dini hari, setelah
menyelesaikan laporan mendesak. Jalanan Jakarta sudah cukup lengang, dan ketika
ia mendekati Terowongan Casablanca, suasana sepi dan mencekam semakin terasa.
Hanya ada satu atau dua motor yang melintas bersamanya.
Saat mobilnya berada tepat di
bagian tengah terowongan, di bawah temaram lampu kuning yang beberapa di
antaranya berkedip-kedip, pandangan Rifqi menangkap sesuatu di sisi kiri jalan.
Awalnya ia mengira itu adalah tumpukan karung atau sampah yang ditinggalkan
sembarangan. Namun, ketika mobilnya semakin dekat, bentuk itu semakin jelas.
Sosok itu berdiri tegak, membelakanginya. Sosok seorang wanita berambut hitam
panjang tergerai hingga hampir menyentuh tanah, mengenakan pakaian yang
warnanya begitu mencolok di tengah kegelapan: merah, merah seperti darah.
Jantung Rifqi seolah berhenti
berdetak. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin hanya orang gila atau
seseorang yang sedang menunggu jemputan di tempat yang tidak seharusnya. Namun,
ada sesuatu yang sangat salah dengan sosok itu. Tidak ada gerakan, tidak ada
tanda-tanda kehidupan normal. Saat mobilnya melaju pelan melewatinya, Rifqi
memberanikan diri melirik dari sudut mata. Wajah sosok itu tidak terlihat
jelas, tertutup oleh helaian rambutnya yang panjang dan kusut. Namun, aura
dingin dan kebencian yang memancar darinya begitu kuat terasa, menusuk hingga
ke tulang sumsum.
Tiba-tiba, seolah tahu sedang
diperhatikan, sosok wanita berbaju merah itu perlahan mulai mengangkat
kepalanya. Rifqi tidak berani melihat langsung, ia hanya bisa menangkap gerakan
itu dari ekor matanya. Namun, yang membuatnya nyaris kehilangan kendali atas
kemudinya adalah ketika ia melihat sosok itu tidak berdiri di atas tanah.
Kakinya tidak menapak! Sosok itu melayang beberapa sentimeter dari permukaan
aspal, gaun merahnya berkibar pelan meskipun tidak ada angin di dalam
terowongan.
Tanpa pikir panjang, Rifqi
menginjak pedal gas dalam-dalam. Deru mesin mobilnya memecah kesunyian
terowongan saat ia berusaha secepat mungkin melarikan diri dari pemandangan
mengerikan itu. Ia tidak berani melihat kaca spion, takut jika sosok itu
mengikutinya. Keringat dingin membasahi kening dan punggungnya. Ini bukan lagi
sekadar cerita atau perasaan. Ia baru saja melihat dengan mata kepalanya
sendiri salah satu legenda paling menakutkan di Jakarta: Kuntilanak Merah
Terowongan Casablanca.
Penampakan sosok Kuntilanak Merah
itu meninggalkan bekas trauma yang cukup dalam bagi Rifqi. Malam-malam
berikutnya, ia selalu merasa gelisah setiap kali teringat kejadian tersebut.
Namun, sebagai seorang profesional, ia tidak bisa begitu saja menghindari rute
Terowongan Casablanca yang merupakan jalur tercepat menuju kantornya. Ia
mencoba memberanikan diri, meyakinkan dirinya bahwa kejadian itu mungkin hanya
halusinasi akibat kelelahan. Akan tetapi, "penghuni" terowongan itu
sepertinya belum selesai dengannya.
Beberapa hari setelah penampakan
itu, saat Rifqi kembali melintasi terowongan di malam hari, ia merasakan setir
mobilnya tiba-tiba menjadi sangat berat sebelah, seolah ada beban tak terlihat
yang menariknya ke arah dinding terowongan. Ia harus berjuang keras untuk
menjaga mobilnya tetap lurus di jalurnya. Jantungnya berdebar kencang, keringat
mulai bercucuran. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, setir
mobil kembali normal, namun perasaan was-was sudah terlanjur mencengkeramnya.
Gangguan lain datang dalam bentuk
suara. Radio mobilnya yang sedang memutar lagu kesukaannya tiba-tiba mati
total. Beberapa saat kemudian, radio itu menyala sendiri, namun bukan lagu yang
terdengar, melainkan suara kresek-kresek statis yang diselingi suara seperti
bisikan-bisikan tidak jelas. Rifqi buru-buru mematikan radio, namun suara
bisikan itu seolah masih terngiang di telinganya, samar-samar seperti suara
wanita yang sedang merintih kesakitan. Pengalaman ini membuatnya semakin yakin
bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.
Rifqi mulai benar-benar
ketakutan. Ia menceritakan pengalamannya pada Doni, yang awalnya terkejut namun
kemudian menunjukkan simpati. "Sudah kubilang, Qi, tempat itu memang
angker. Hati-hati saja kalau lewat sana," kata Doni dengan nada prihatin.
Sejak saat itu, Rifqi mulai serius mempertimbangkan untuk mencari rute
alternatif, terutama jika ia harus pulang larut malam. Ia lebih memilih memutar
sedikit lebih jauh daripada harus kembali berhadapan dengan teror di terowongan
itu.
Namun, terkadang, kondisi lalu
lintas Jakarta yang tak terduga memaksanya kembali melewati jalur angker
tersebut. Setiap kali terpaksa, ia akan membaca doa-doa yang ia hafal,
menggenggam erat kemudi, dan berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal aneh. Ia
berharap dengan begitu, ia bisa melewati terowongan dengan aman tanpa gangguan.
Sayangnya, harapannya tidak selalu terkabul, karena puncak teror masih
menantinya di depan.
Malam itu adalah malam yang
paling ingin Rifqi lupakan seumur hidupnya. Hujan turun dengan derasnya sejak
sore, menyebabkan kemacetan parah di hampir seluruh ruas jalan utama Jakarta.
Jalur alternatif yang biasa ia gunakan untuk menghindari Terowongan Casablanca
pun tak luput dari antrean panjang kendaraan. Setelah terjebak macet selama
hampir dua jam, dengan berat hati Rifqi memutuskan untuk menerobos Terowongan Casablanca,
berharap jalur itu sedikit lebih lancar. Saat itu sudah menunjukkan pukul
setengah dua belas malam.
Begitu mobilnya memasuki
terowongan, suasana terasa jauh lebih mencekam dari biasanya. Hujan di luar
membuat suara gemericik air yang menetes dari langit-langit terowongan
terdengar lebih jelas, menambah kesan lembap dan suram. Hanya ada beberapa
kendaraan lain yang melintas, jaraknya pun cukup jauh di depan dan di
belakangnya. Tepat ketika mobilnya berada di tengah-tengah terowongan, di titik
yang sama di mana ia pernah melihat sosok merah itu, mesin mobilnya tiba-tiba
batuk-batuk, lalu mati total.
Panik seketika menyergap Rifqi.
Ia mencoba menstarter mobilnya berulang kali, namun mesinnya tak kunjung
menyala. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi
keningnya. Di tengah kepanikannya, hidungnya mencium aroma wangi bunga melati
yang sangat kuat, begitu menyengat hingga membuatnya mual. Aroma ini berbeda
dengan bau anyir yang pernah ia cium sebelumnya, namun entah kenapa terasa jauh
lebih menakutkan. Bulu kuduknya berdiri, ia tahu ini bukan pertanda baik.
Kemudian, dari kesunyian
terowongan yang hanya dipecah suara tetesan air, terdengar suara tawa wanita.
Bukan tawa riang, melainkan tawa melengking yang dingin dan penuh ejekan. Suara
itu seolah datang dari segala arah, menggema di dinding-dinding terowongan.
Rifqi menutup telinganya, matanya terpejam erat, mulutnya komat-kamit membaca
doa apa saja yang ia ingat. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang luar biasa
di dalam mobilnya, seolah ada bongkahan es besar yang diletakkan di sampingnya.
Dengan tangan gemetar, ia
memberanikan diri membuka mata dan melirik kaca spion tengah. Apa yang
dilihatnya membuatnya nyaris menjerit. Di pantulan kaca itu, ia melihat
bayangan sosok wanita berambut panjang acak-acakan, dengan gaun berwarna merah
kusam, sedang duduk di jok belakang mobilnya! Wajahnya tidak terlihat jelas
karena tertutup rambut, namun Rifqi bisa merasakan tatapan dingin yang menembus
dari balik helaian rambut itu. Sosok itu hanya diam, namun kehadirannya
mengirimkan gelombang teror yang tak terperikan.
Melihat penampakan yang begitu
dekat dan nyata di jok belakang mobilnya, Rifqi dilanda kepanikan luar biasa.
Ia tak tahu harus berbuat apa. Kakinya lemas, tenggorokannya tercekat, ia
bahkan tak sanggup berteriak. Ia hanya bisa memejamkan mata sekuat tenaga,
berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Entah berapa lama ia dalam kondisi
seperti itu, namun tiba-tiba ia mendengar suara klakson mobil dari belakang.
Refleks, ia membuka mata dan mencoba menstarter mobilnya sekali lagi dengan
sisa keberanian yang ada. Ajaib, mesin mobil langsung menyala!
Tanpa pikir panjang, Rifqi
langsung tancap gas, tak peduli lagi dengan suara tawa melengking yang seolah
masih mengejarnya. Ia terus melaju kencang hingga keluar dari terowongan, dan
baru berani sedikit mengurangi kecepatan setelah berada cukup jauh dari tempat
angker itu. Sepanjang sisa perjalanan pulang, tubuhnya tak henti-hentinya
gemetar. Ia terus melirik kaca spion, khawatir jika sosok mengerikan itu masih
mengikutinya.
Sesampainya di rumah, Rifqi
langsung mengunci semua pintu dan jendela. Malam itu ia tidak bisa tidur sama
sekali. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Kuntilanak Merah di jok belakang
mobilnya kembali muncul. Keesokan harinya, ia demam tinggi selama beberapa
hari. Tubuhnya menggigil, dan ia sering mengigau ketakutan. Pengalaman itu
benar-benar meninggalkan trauma mendalam dalam dirinya. Doni dan keluarganya berusaha
menenangkannya, namun bayang-bayang teror itu tak mudah hilang.
Setelah pulih dari sakitnya,
Rifqi membuat keputusan bulat. Ia tidak akan pernah lagi, dalam kondisi apapun,
melewati Terowongan Casablanca, terutama pada malam hari. Ia lebih memilih menempuh
rute yang lebih jauh, berputar-putar melewati jalanan lain, daripada harus
kembali merasakan kengerian yang hampir merenggut kewarasannya itu. Baginya,
Terowongan Casablanca bukan lagi sekadar jalur pintas, melainkan gerbang menuju
dimensi lain yang penuh teror.
Kejadian itu juga mengubah
pandangannya terhadap hal-hal gaib. Skeptisisme yang dulu ia pegang teguh kini
runtuh berkeping-keping. Ia menjadi lebih religius, lebih sering berdoa, dan
lebih berhati-hati dalam bersikap di manapun ia berada. Ia sadar bahwa ada
hal-hal di dunia ini yang memang berada di luar jangkauan logika manusia, dan
lebih baik tidak mengusiknya jika tidak ingin celaka. Kisah pribadinya dengan
Terowongan Casablanca menjadi pelajaran berharga yang tak akan pernah ia
lupakan seumur hidupnya.
Setelah melewati serangkaian
kejadian mengerikan di Terowongan Casablanca, Rifqi seringkali duduk termenung,
merenungi kembali setiap detik teror yang pernah ia alami. Pengalaman tersebut
bukan hanya meninggalkan trauma, tetapi juga membuka matanya terhadap dimensi
lain dari kehidupan yang selama ini ia abaikan. Ia mulai memahami bahwa dunia
ini tidak hanya dihuni oleh manusia, tetapi juga oleh makhluk-makhluk ciptaan Allah
lainnya yang tak kasat mata, yang keberadaannya wajib diimani sebagai bagian
dari rukun iman kepada yang gaib.
Dalam pandangan Islam, keberadaan
jin adalah nyata. Mereka diciptakan dari api, memiliki alam dan kehidupan
sendiri, dan di antara mereka ada yang taat kepada Allah, namun banyak pula
yang ingkar dan menjadi pengikut syaitan. Penampakan horor seperti sosok
Kuntilanak Merah yang dialami Rifqi dapat dipahami sebagai manifestasi dari jin
atau syaitan yang bertujuan untuk menakut-nakuti, menyesatkan, atau sekadar
mengganggu manusia. Allah memberikan kemampuan kepada sebagian jin untuk
berubah wujud atau menampakkan diri dalam bentuk tertentu, seringkali yang
menyeramkan, sebagai ujian bagi keimanan dan ketakwaan manusia.
Islam mengajarkan umatnya untuk
tidak takut kepada selain Allah. Ketika menghadapi gangguan atau penampakan
dari makhluk gaib, seorang muslim dianjurkan untuk senantiasa mengingat Allah,
memohon perlindungan-Nya dengan membaca doa-doa seperti Ayat Kursi, surat
Al-Falaq, An-Nas, serta berdzikir. Menjaga adab dan kesopanan di setiap tempat
juga penting, karena tempat-tempat tertentu, apalagi yang memiliki sejarah
kelam atau bekas kuburan, bisa jadi merupakan tempat tinggal atau lintasan bagi
bangsa jin. Meremehkan atau berbuat tidak senonoh di tempat seperti itu dapat
mengundang gangguan.
Pelajaran moral yang dapat
dipetik dari kisah Rifqi adalah pentingnya menjaga sikap rendah hati dan tidak
sombong terhadap hal-hal yang tidak kita pahami sepenuhnya. Keberanian yang
tidak didasari iman dan ilmu bisa berujung pada malapetaka. Kita juga
diingatkan untuk selalu waspada dan memohon perlindungan Allah di manapun kita
berada, karena syaitan dan bala tentaranya tidak pernah berhenti berusaha
menggoda dan menakuti anak Adam. Menghormati setiap tempat dengan tidak
melakukan perbuatan yang dilarang agama adalah benteng diri.
Kisah Rifqi menjadi pengingat
bahwa di tengah gemerlap dan modernitas kota besar, masih ada sisi-sisi lain
yang tersembunyi, yang menuntut kita untuk lebih mawas diri dan mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta. Trauma yang dialaminya berangsur pulih seiring
dengan meningkatnya kualitas spiritualnya, namun kenangan akan jeritan merah di
jantung Jakarta itu akan selalu menjadi pengingat akan kebesaran Allah dan
kerapuhan manusia di hadapan dunia gaib.
Demikianlah kisah ini
diceritakan, semoga dapat menghibur dan menambah wawasan, segala kebenaran
detailnya, kita kembalikan kepada Allah, Tuhan pemilik kisah kehidupan.
Komentar
Posting Komentar