Misteri Jeritan Merah Terowongan Casablanca (Jakarta)

 


Di jantung kota metropolitan Jakarta yang tak pernah tidur, tepatnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, berdiri sebuah infrastruktur yang sejatinya dibangun untuk memperlancar arus lalu lintas: Terowongan Casablanca. Diresmikan sekitar akhir dekade 1980-an, terowongan ini membelah area yang dulunya dikenal sebagai Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo. Sejak awal pembangunannya yang konon menggusur sebagian area pemakaman, bisik-bisik mengenai keangkerannya sudah mulai merebak di antara warga sekitar dan para pekerja proyek. Cerita-cerita mistis seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari beton dan aspal yang membentuknya.

Seiring berjalannya waktu, reputasi Terowongan Casablanca sebagai salah satu titik paling angker di ibukota semakin mengakar kuat. Berbagai kisah seram, mulai dari penampakan sosok gaib hingga kecelakaan aneh yang tak dapat dijelaskan secara logis, kerap terdengar dari mulut ke mulut. Ada yang mengatakan bahwa arwah-arwah dari kuburan yang tergusur masih bergentayangan, menuntut balas atau sekadar menunjukkan eksistensinya. Legenda urban bahkan mengaitkannya dengan tempat pembuangan mayat korban-korban peristiwa kelam di masa lalu, menambah lapisan misteri dan kengerian yang menyelimutinya.

Rifqi, seorang karyawan swasta berusia akhir dua puluhan, adalah salah satu dari ribuan komuter yang setiap hari melintasi denyut nadi Jakarta. Rute kerjanya dari rumah di kawasan pinggiran menuju kantornya di pusat bisnis seringkali mengharuskannya melewati Terowongan Casablanca. Baginya, terowongan itu hanyalah bagian dari rutinitas, sebuah jalur pintas yang membantunya menghindari kemacetan di beberapa ruas jalan lain. Ia tahu tentang reputasi seramnya, namun sebagai pribadi yang cenderung logis, ia tak pernah terlalu memikirkannya.

Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, setiap kali memasuki mulut terowongan yang gelap dan lembap itu, terutama saat malam mulai larut, Rifqi tak bisa menampik adanya secercah perasaan tidak nyaman. Suasana di dalam terowongan memang terasa berbeda; lebih dingin, lebih sunyi meski deru kendaraan lain terdengar, dan ada aura berat yang seolah menekan. Ia sering mencoba mengabaikannya, menyibukkan pikiran dengan musik dari radio mobil atau rencana pekerjaan esok hari.

Kehidupan di Jakarta yang keras dan cepat seringkali membuat orang melupakan hal-hal di luar nalar. Bagi Rifqi, cerita hantu Terowongan Casablanca awalnya tak lebih dari sekadar bumbu percakapan di warung kopi atau bahan candaan di kantor. Ia percaya bahwa selama ia tidak mengganggu dan menjaga sopan santun, tidak akan ada hal buruk yang menimpanya. Namun, ia tak pernah menyangka bahwa suatu hari nanti, ia akan menjadi salah satu dari mereka yang memiliki "kisah pribadi" dengan penghuni tak kasat mata terowongan legendaris itu.

 

Sebagai pengguna setia Terowongan Casablanca, Rifqi tentu tidak asing dengan berbagai cerita horor yang melingkupinya. Doni, sahabat karibnya di kantor yang juga seorang penggemar kisah misteri, adalah salah satu sumber utama informasi tersebut. Setiap kali ada berita atau unggahan viral tentang pengalaman mistis di terowongan itu, Doni pasti akan menjadi yang pertama membagikannya kepada Rifqi, lengkap dengan bumbu-bumbu dramatis yang membuat bulu kuduk berdiri. "Eh, Qi, lo baca nggak nih? Ada yang lihat Neng Merah lagi di Casablanca semalam!" seru Doni suatu pagi di pantry kantor.

Rifqi biasanya hanya tersenyum atau menggelengkan kepala, menanggapi antusiasme Doni dengan sikap skeptis. "Ah, elo, Don. Yang begitu dipercaya. Paling juga orang kurang kerjaan atau cari sensasi," sahut Rifqi, mencoba terdengar cuek. Namun, tak bisa dipungkiri, frekuensi cerita yang ia dengar, baik dari Doni, rekan kerja lain, bahkan dari obrolan pengemudi ojek online yang pernah mengantarnya, perlahan tapi pasti mulai menanamkan benih kegelisahan kecil dalam benaknya.

Beberapa cerita yang paling sering ia dengar adalah tentang sosok Kuntilanak Merah yang konon menjadi penunggu utama terowongan. Sosok ini digambarkan sebagai wanita berambut panjang dengan pakaian serba merah darah, sering muncul tiba-tiba di hadapan pengendara, menyebabkan kepanikan dan tak jarang kecelakaan. Ada pula cerita tentang suara tangisan wanita yang memilukan, bau anyir darah atau wangi kemenyan yang tiba-tiba menyeruak, hingga gangguan pada kendaraan seperti mesin mati mendadak atau lampu yang berkedip-kedip tanpa sebab.

"Katanya sih, Qi, kalau lewat situ malam-malam, apalagi sendirian, harusnya klakson tiga kali buat 'permisi'," Doni pernah menasihati dengan wajah serius. "Biar nggak diganggu sama 'penunggu'-nya." Rifqi hanya tertawa kecil mendengar itu. Baginya, membunyikan klakson tanpa alasan justru mengganggu pengendara lain. Ia tetap pada pendiriannya bahwa semua itu hanyalah mitos yang dibesar-besarkan, produk dari imajinasi kolektif masyarakat urban yang haus akan sensasi.

Meskipun berusaha menepis, informasi-informasi tersebut secara tidak sadar terekam dalam memorinya. Setiap kali ia hendak memasuki terowongan, terutama jika hari sudah gelap dan kondisi jalanan sepi, potongan-potongan cerita Doni seolah berkelebat di benaknya. Ia akan sedikit menaikkan volume radio, atau sengaja menelepon seseorang untuk mengalihkan perhatian, sebuah mekanisme pertahanan diri yang tak ia sadari sepenuhnya. Ia belum tahu, bahwa tak lama lagi, ia tak hanya akan menjadi pendengar, tetapi juga saksi mata dari keangkeran Terowongan Casablanca.

 

Rutinitas Rifqi sebagai karyawan yang sering pulang larut malam karena tuntutan pekerjaan membuatnya semakin akrab dengan suasana Terowongan Casablanca di jam-jam sepi. Awalnya, semua berjalan seperti biasa. Namun, suatu malam di pertengahan minggu, sekitar pukul sebelas malam, saat ia mengemudikan mobilnya sendirian melintasi terowongan tersebut, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Ini adalah kali pertama ia merasakan langsung aura mistis yang selama ini hanya menjadi buah bibir.

Begitu mobilnya memasuki mulut terowongan yang remang-remang, hidungnya tiba-tiba menangkap bau anyir yang sangat kuat, seperti bau darah segar yang baru saja tertumpah. Rifqi mengerutkan kening, mencoba mencari sumber bau tersebut. Ia melirik ke sekeliling, tidak ada bangkai binatang atau sampah yang bisa menjelaskan aroma busuk itu. Bau tersebut begitu pekat hingga membuatnya sedikit mual. Anehnya, begitu mobilnya keluar dari ujung terowongan, bau tersebut lenyap seketika, seolah terputus oleh batas tak terlihat.

Kejadian itu cukup mengusiknya, namun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin itu hanya perasaannya saja, atau ada truk pengangkut daging yang baru saja lewat. Beberapa hari kemudian, pengalaman aneh lainnya menyusul. Kali ini, bukan bau, melainkan sensasi fisik. Saat melaju di tengah terowongan yang lengang, tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, padahal AC mobilnya tidak disetel terlalu kencang dan jendela tertutup rapat. Bulu kuduknya meremang tanpa sebab yang jelas.

Bersamaan dengan hawa dingin itu, Rifqi merasakan sensasi seperti ada sepasang mata yang sedang mengawasinya lekat-lekat dari jok belakang mobilnya. Refleks, ia melirik kaca spion tengah. Tidak ada siapa-siapa. Jok belakang kosong melompong seperti biasanya. Namun, perasaan diawasi itu begitu nyata dan intens, membuatnya tidak nyaman. Jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Ia mempercepat laju mobilnya, ingin segera keluar dari lorong panjang dan gelap itu.

Pengalaman-pengalaman ganjil ini mulai menggerogoti keyakinan Rifqi akan rasionalitas semata. Ia mulai bertanya-tanya, apakah cerita-cerita yang selama ini ia anggap omong kosong ternyata memiliki secuil kebenaran? Ia belum berani menceritakannya pada Doni, khawatir akan ditertawakan atau malah semakin ditakut-takuti. Ia memilih untuk menyimpannya sendiri, berharap bahwa itu semua hanyalah kebetulan atau imajinasinya yang terlalu lelah setelah bekerja seharian. Namun, ia tidak tahu bahwa ini barulah permulaan dari serangkaian teror yang lebih mengerikan.

 

Teror yang dialami Rifqi tidak berhenti pada bau aneh dan perasaan diawasi. Keangkeran Terowongan Casablanca mulai menunjukkan wujudnya yang lebih nyata. Suatu Jumat malam, Rifqi terpaksa pulang lebih larut dari biasanya, sekitar pukul satu dini hari, setelah menyelesaikan laporan mendesak. Jalanan Jakarta sudah cukup lengang, dan ketika ia mendekati Terowongan Casablanca, suasana sepi dan mencekam semakin terasa. Hanya ada satu atau dua motor yang melintas bersamanya.

Saat mobilnya berada tepat di bagian tengah terowongan, di bawah temaram lampu kuning yang beberapa di antaranya berkedip-kedip, pandangan Rifqi menangkap sesuatu di sisi kiri jalan. Awalnya ia mengira itu adalah tumpukan karung atau sampah yang ditinggalkan sembarangan. Namun, ketika mobilnya semakin dekat, bentuk itu semakin jelas. Sosok itu berdiri tegak, membelakanginya. Sosok seorang wanita berambut hitam panjang tergerai hingga hampir menyentuh tanah, mengenakan pakaian yang warnanya begitu mencolok di tengah kegelapan: merah, merah seperti darah.

Jantung Rifqi seolah berhenti berdetak. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin hanya orang gila atau seseorang yang sedang menunggu jemputan di tempat yang tidak seharusnya. Namun, ada sesuatu yang sangat salah dengan sosok itu. Tidak ada gerakan, tidak ada tanda-tanda kehidupan normal. Saat mobilnya melaju pelan melewatinya, Rifqi memberanikan diri melirik dari sudut mata. Wajah sosok itu tidak terlihat jelas, tertutup oleh helaian rambutnya yang panjang dan kusut. Namun, aura dingin dan kebencian yang memancar darinya begitu kuat terasa, menusuk hingga ke tulang sumsum.

Tiba-tiba, seolah tahu sedang diperhatikan, sosok wanita berbaju merah itu perlahan mulai mengangkat kepalanya. Rifqi tidak berani melihat langsung, ia hanya bisa menangkap gerakan itu dari ekor matanya. Namun, yang membuatnya nyaris kehilangan kendali atas kemudinya adalah ketika ia melihat sosok itu tidak berdiri di atas tanah. Kakinya tidak menapak! Sosok itu melayang beberapa sentimeter dari permukaan aspal, gaun merahnya berkibar pelan meskipun tidak ada angin di dalam terowongan.

Tanpa pikir panjang, Rifqi menginjak pedal gas dalam-dalam. Deru mesin mobilnya memecah kesunyian terowongan saat ia berusaha secepat mungkin melarikan diri dari pemandangan mengerikan itu. Ia tidak berani melihat kaca spion, takut jika sosok itu mengikutinya. Keringat dingin membasahi kening dan punggungnya. Ini bukan lagi sekadar cerita atau perasaan. Ia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri salah satu legenda paling menakutkan di Jakarta: Kuntilanak Merah Terowongan Casablanca.

 

Penampakan sosok Kuntilanak Merah itu meninggalkan bekas trauma yang cukup dalam bagi Rifqi. Malam-malam berikutnya, ia selalu merasa gelisah setiap kali teringat kejadian tersebut. Namun, sebagai seorang profesional, ia tidak bisa begitu saja menghindari rute Terowongan Casablanca yang merupakan jalur tercepat menuju kantornya. Ia mencoba memberanikan diri, meyakinkan dirinya bahwa kejadian itu mungkin hanya halusinasi akibat kelelahan. Akan tetapi, "penghuni" terowongan itu sepertinya belum selesai dengannya.

Beberapa hari setelah penampakan itu, saat Rifqi kembali melintasi terowongan di malam hari, ia merasakan setir mobilnya tiba-tiba menjadi sangat berat sebelah, seolah ada beban tak terlihat yang menariknya ke arah dinding terowongan. Ia harus berjuang keras untuk menjaga mobilnya tetap lurus di jalurnya. Jantungnya berdebar kencang, keringat mulai bercucuran. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, setir mobil kembali normal, namun perasaan was-was sudah terlanjur mencengkeramnya.

Gangguan lain datang dalam bentuk suara. Radio mobilnya yang sedang memutar lagu kesukaannya tiba-tiba mati total. Beberapa saat kemudian, radio itu menyala sendiri, namun bukan lagu yang terdengar, melainkan suara kresek-kresek statis yang diselingi suara seperti bisikan-bisikan tidak jelas. Rifqi buru-buru mematikan radio, namun suara bisikan itu seolah masih terngiang di telinganya, samar-samar seperti suara wanita yang sedang merintih kesakitan. Pengalaman ini membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.

Rifqi mulai benar-benar ketakutan. Ia menceritakan pengalamannya pada Doni, yang awalnya terkejut namun kemudian menunjukkan simpati. "Sudah kubilang, Qi, tempat itu memang angker. Hati-hati saja kalau lewat sana," kata Doni dengan nada prihatin. Sejak saat itu, Rifqi mulai serius mempertimbangkan untuk mencari rute alternatif, terutama jika ia harus pulang larut malam. Ia lebih memilih memutar sedikit lebih jauh daripada harus kembali berhadapan dengan teror di terowongan itu.

Namun, terkadang, kondisi lalu lintas Jakarta yang tak terduga memaksanya kembali melewati jalur angker tersebut. Setiap kali terpaksa, ia akan membaca doa-doa yang ia hafal, menggenggam erat kemudi, dan berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal aneh. Ia berharap dengan begitu, ia bisa melewati terowongan dengan aman tanpa gangguan. Sayangnya, harapannya tidak selalu terkabul, karena puncak teror masih menantinya di depan.

 

Malam itu adalah malam yang paling ingin Rifqi lupakan seumur hidupnya. Hujan turun dengan derasnya sejak sore, menyebabkan kemacetan parah di hampir seluruh ruas jalan utama Jakarta. Jalur alternatif yang biasa ia gunakan untuk menghindari Terowongan Casablanca pun tak luput dari antrean panjang kendaraan. Setelah terjebak macet selama hampir dua jam, dengan berat hati Rifqi memutuskan untuk menerobos Terowongan Casablanca, berharap jalur itu sedikit lebih lancar. Saat itu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

Begitu mobilnya memasuki terowongan, suasana terasa jauh lebih mencekam dari biasanya. Hujan di luar membuat suara gemericik air yang menetes dari langit-langit terowongan terdengar lebih jelas, menambah kesan lembap dan suram. Hanya ada beberapa kendaraan lain yang melintas, jaraknya pun cukup jauh di depan dan di belakangnya. Tepat ketika mobilnya berada di tengah-tengah terowongan, di titik yang sama di mana ia pernah melihat sosok merah itu, mesin mobilnya tiba-tiba batuk-batuk, lalu mati total.

Panik seketika menyergap Rifqi. Ia mencoba menstarter mobilnya berulang kali, namun mesinnya tak kunjung menyala. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi keningnya. Di tengah kepanikannya, hidungnya mencium aroma wangi bunga melati yang sangat kuat, begitu menyengat hingga membuatnya mual. Aroma ini berbeda dengan bau anyir yang pernah ia cium sebelumnya, namun entah kenapa terasa jauh lebih menakutkan. Bulu kuduknya berdiri, ia tahu ini bukan pertanda baik.

Kemudian, dari kesunyian terowongan yang hanya dipecah suara tetesan air, terdengar suara tawa wanita. Bukan tawa riang, melainkan tawa melengking yang dingin dan penuh ejekan. Suara itu seolah datang dari segala arah, menggema di dinding-dinding terowongan. Rifqi menutup telinganya, matanya terpejam erat, mulutnya komat-kamit membaca doa apa saja yang ia ingat. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang luar biasa di dalam mobilnya, seolah ada bongkahan es besar yang diletakkan di sampingnya.

Dengan tangan gemetar, ia memberanikan diri membuka mata dan melirik kaca spion tengah. Apa yang dilihatnya membuatnya nyaris menjerit. Di pantulan kaca itu, ia melihat bayangan sosok wanita berambut panjang acak-acakan, dengan gaun berwarna merah kusam, sedang duduk di jok belakang mobilnya! Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup rambut, namun Rifqi bisa merasakan tatapan dingin yang menembus dari balik helaian rambut itu. Sosok itu hanya diam, namun kehadirannya mengirimkan gelombang teror yang tak terperikan.

 

Melihat penampakan yang begitu dekat dan nyata di jok belakang mobilnya, Rifqi dilanda kepanikan luar biasa. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kakinya lemas, tenggorokannya tercekat, ia bahkan tak sanggup berteriak. Ia hanya bisa memejamkan mata sekuat tenaga, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Entah berapa lama ia dalam kondisi seperti itu, namun tiba-tiba ia mendengar suara klakson mobil dari belakang. Refleks, ia membuka mata dan mencoba menstarter mobilnya sekali lagi dengan sisa keberanian yang ada. Ajaib, mesin mobil langsung menyala!

Tanpa pikir panjang, Rifqi langsung tancap gas, tak peduli lagi dengan suara tawa melengking yang seolah masih mengejarnya. Ia terus melaju kencang hingga keluar dari terowongan, dan baru berani sedikit mengurangi kecepatan setelah berada cukup jauh dari tempat angker itu. Sepanjang sisa perjalanan pulang, tubuhnya tak henti-hentinya gemetar. Ia terus melirik kaca spion, khawatir jika sosok mengerikan itu masih mengikutinya.

Sesampainya di rumah, Rifqi langsung mengunci semua pintu dan jendela. Malam itu ia tidak bisa tidur sama sekali. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Kuntilanak Merah di jok belakang mobilnya kembali muncul. Keesokan harinya, ia demam tinggi selama beberapa hari. Tubuhnya menggigil, dan ia sering mengigau ketakutan. Pengalaman itu benar-benar meninggalkan trauma mendalam dalam dirinya. Doni dan keluarganya berusaha menenangkannya, namun bayang-bayang teror itu tak mudah hilang.

Setelah pulih dari sakitnya, Rifqi membuat keputusan bulat. Ia tidak akan pernah lagi, dalam kondisi apapun, melewati Terowongan Casablanca, terutama pada malam hari. Ia lebih memilih menempuh rute yang lebih jauh, berputar-putar melewati jalanan lain, daripada harus kembali merasakan kengerian yang hampir merenggut kewarasannya itu. Baginya, Terowongan Casablanca bukan lagi sekadar jalur pintas, melainkan gerbang menuju dimensi lain yang penuh teror.

Kejadian itu juga mengubah pandangannya terhadap hal-hal gaib. Skeptisisme yang dulu ia pegang teguh kini runtuh berkeping-keping. Ia menjadi lebih religius, lebih sering berdoa, dan lebih berhati-hati dalam bersikap di manapun ia berada. Ia sadar bahwa ada hal-hal di dunia ini yang memang berada di luar jangkauan logika manusia, dan lebih baik tidak mengusiknya jika tidak ingin celaka. Kisah pribadinya dengan Terowongan Casablanca menjadi pelajaran berharga yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

 

Setelah melewati serangkaian kejadian mengerikan di Terowongan Casablanca, Rifqi seringkali duduk termenung, merenungi kembali setiap detik teror yang pernah ia alami. Pengalaman tersebut bukan hanya meninggalkan trauma, tetapi juga membuka matanya terhadap dimensi lain dari kehidupan yang selama ini ia abaikan. Ia mulai memahami bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh manusia, tetapi juga oleh makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya yang tak kasat mata, yang keberadaannya wajib diimani sebagai bagian dari rukun iman kepada yang gaib.

Dalam pandangan Islam, keberadaan jin adalah nyata. Mereka diciptakan dari api, memiliki alam dan kehidupan sendiri, dan di antara mereka ada yang taat kepada Allah, namun banyak pula yang ingkar dan menjadi pengikut syaitan. Penampakan horor seperti sosok Kuntilanak Merah yang dialami Rifqi dapat dipahami sebagai manifestasi dari jin atau syaitan yang bertujuan untuk menakut-nakuti, menyesatkan, atau sekadar mengganggu manusia. Allah memberikan kemampuan kepada sebagian jin untuk berubah wujud atau menampakkan diri dalam bentuk tertentu, seringkali yang menyeramkan, sebagai ujian bagi keimanan dan ketakwaan manusia.

Islam mengajarkan umatnya untuk tidak takut kepada selain Allah. Ketika menghadapi gangguan atau penampakan dari makhluk gaib, seorang muslim dianjurkan untuk senantiasa mengingat Allah, memohon perlindungan-Nya dengan membaca doa-doa seperti Ayat Kursi, surat Al-Falaq, An-Nas, serta berdzikir. Menjaga adab dan kesopanan di setiap tempat juga penting, karena tempat-tempat tertentu, apalagi yang memiliki sejarah kelam atau bekas kuburan, bisa jadi merupakan tempat tinggal atau lintasan bagi bangsa jin. Meremehkan atau berbuat tidak senonoh di tempat seperti itu dapat mengundang gangguan.

Pelajaran moral yang dapat dipetik dari kisah Rifqi adalah pentingnya menjaga sikap rendah hati dan tidak sombong terhadap hal-hal yang tidak kita pahami sepenuhnya. Keberanian yang tidak didasari iman dan ilmu bisa berujung pada malapetaka. Kita juga diingatkan untuk selalu waspada dan memohon perlindungan Allah di manapun kita berada, karena syaitan dan bala tentaranya tidak pernah berhenti berusaha menggoda dan menakuti anak Adam. Menghormati setiap tempat dengan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama adalah benteng diri.

Kisah Rifqi menjadi pengingat bahwa di tengah gemerlap dan modernitas kota besar, masih ada sisi-sisi lain yang tersembunyi, yang menuntut kita untuk lebih mawas diri dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Trauma yang dialaminya berangsur pulih seiring dengan meningkatnya kualitas spiritualnya, namun kenangan akan jeritan merah di jantung Jakarta itu akan selalu menjadi pengingat akan kebesaran Allah dan kerapuhan manusia di hadapan dunia gaib.

Demikianlah kisah ini diceritakan, semoga dapat menghibur dan menambah wawasan, segala kebenaran detailnya, kita kembalikan kepada Allah, Tuhan pemilik kisah kehidupan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Legenda Putri Gunung Ledang, Cerita Rakyat Malaka

Kisah Legenda Puteri Junjung Buih, Cerita Rakyat Kalimantan

Kisah Gunung Sumbing: Sejarah, Legenda dan Cerita Mistis